SLEMAN, KOMPAS — Generasi milenial, sebagai kelompok yang fasih dalam dunia digital, hendaknya tidak mudah terjerumus hoaks yang tersebar secara masif melalui internet di tengah tahun politik. Kecakapan diri dalam menyaring informasi menjadi penting bagi mereka untuk menentukan pilihan pada Pemilu 2019.
Hal itu dibahas dalam diskusi publik bertajuk ”Generasi Milenial Peduli Pemilu Informatif” di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (19/2/2019).
Tenaga Ahli Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Hendrasmo mengatakan, masyarakat telah merasakan era demokrasi. Itu ditandai dengan bebasnya informasi yang beredar dan mudah diakses publik. Namun, masyarakat mendapat ancaman lain berupa hoaks atau berita bohong bermotif politik yang menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran.
”Berita-berita bohong membanjiri masyarakat menggunakan robot atau artificial intelligence yang menyebarkan berita yang tak sesuai dengan realitasnya. Ini dilakukan secara berkelanjutan. Disinformasi terdistribusi melalui media sosial dan menyerang lapisan otak yang secara instingtif membuat takut,” kata Hendrasmo.
Hendrasmo menambahkan, pencegahan penyebaran hoaks tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah. Perlu kesadaran bersama-sama di tingkat masyarakat untuk tidak sembarangan menerima informasi sebagai sebuah kebenaran. Keakuratan informasi harus dipastikan terlebih dahulu dengan memverifikasinya dari berbagai sumber.
”Jangan sekali-kali membagikan informasi jika memang tidak yakin. Cukup berhenti di kita sebagai penerima informasi saja. Itu akan mencegah persebaran berita bohong,” katanya.
Hendrasmo mengemukakan, peranan generasi milenial sebagai penangkal hoaks ini menjadi penting karena mereka yang paling sering dihantam kabar bohong tersebut. Sedikitnya ada 8 dari 10 anak muda Indonesia itu terkoneksi dengan internet yang menjadi ladang bagi penyebar hoaks.
Romanus Ndau, anggota Komisi Informasi Pusat, menyatakan, keterbukaan informasi publik itu bisa mencegah terjadinya hoaks. Ia berpendapat, kebenaran yang mudah diakses itu dengan sendirinya dapat menggugurkan berbagai semburan kebohongan yang beredar luas.
”Jika semua informasi bisa dengan mudah kita dapatkan, hoaks itu bisa dikurangi. Politik itu bukan tentang power dan domination, tetapi tentang truth atau kebenaran. Harapannya, pemilu bisa menyajikan kebenaran sehingga menunjukkan proses berdemokrasi yang baik dengan keterbukaan informasi,” kata Romanus.
Agus Wahyudi, dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat UGM, menyatakan, dalam kontestasi politik, generasi milenial hendaknya jangan diposisikan sekadar sebagai pemilih. Mereka adalah penentu masa depan bangsa dengan setiap hak pilih yang mereka miliki. Dengan ikut memilih, mereka sekaligus menunjukkan bentuk demokrasi.
”Membicarakan generasi milenial bukan sedang melihat mereka sebagai instrumen atau alat mobilisasi politik untuk mencapai kekuasaan. Tetapi, melihat bagaimana mereka dapat terlibat proses politik. Bagi generasi milenial, jika tidak ikut memilih, nasib mereka akan ditentukan oleh orang lain. Sebab, kebebasan memilih ini menjadi anugerah luar biasa,” tutur Agus.
Agus mengungkapkan, keterbukaan informasi merupakan hasil dari berlakunya sistem demokrasi. Hal itu menimbulkan kesadaran bagi para pemilih pemula untuk menonjolkan daya kritisnya dalam mengambil keputusan. Segala keputusannya adalah yang terbaik bagi dia sendiri.
”Setiap orang tahu apa yang paling baik bagi dirinya. Karena itu, setiap orang harus diberi hak untuk bersuara. Pemilu ini sarana mengekspresikan interest kita. Bisa personal, bisa karena pandangan publik. Setiap orang punya andil dalam kebijakan publik di sistem demokrasi ini,” ujar Agus.
Berita-berita bohong membanjiri masyarakat menggunakan robot atau artificial intelligence yang menyebarkan berita yang tak sesuai realitasnya. Ini dilakukan secara berkelanjutan. Disinformasi terdistribusi melalui media sosial dan menyerang lapisan otak yang secara instingtif membuat takut.