Habis Debat, Terbitlah Adu Tagar
“Losing democracy is far worse than losing an election”
(Steven Levitsky and Daniel Ziblatt dalam ”How Democracies Die”)
Debat pemilihan presiden Pemilu 2019 antara capres Joko Widodo dan Prabowo mulai menawarkan program. Namun, hal ini justru disambut warganet dengan adu tanda pagar di linimasa yang saling mencemooh, menguatkan polarisasi.
Tidak lama setelah debat usai antara capres nomor urut 01 Jokowi dan capres nomor urut 02 Prabowo pada Minggu (17/2/2019) malam, linimasa Twitter riuh dengan adu tanda pagar alias tagar di antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo. Data Trends24.in menunjukkan, tagar #jokowibohonglagi mulai trending di Twitter di Indonesia pada Senin (18/2/2019) pukul 05.00. Satu jam kemudian, tagar #02GagapUnicorn juga trending. Dua tagar itu masih bertahan hingga Senin sore. Sekitar pukul 14.00, muncul tagar #savepulpen.
Di tagar #jokowibohonglagi, para pengguna akun Twitter menyoal dan mengolok-olok data yang disebutkan Jokowi dalam debat yang saat itu mengangkat tema energi, sumber daya alam, infrastruktur, pangan, dan lingkungan hidup. Sementara itu, di tagar #02GagapUnicorn, pengguna akun Twitter mengolok-olok respons Prabowo saat menjawab pertanyaan Jokowi mengenai upaya memfasilitasi berkembangnya start-up unicorn di Indonesia.
Saat itu, debat yang hanya melibatkan capres itu membahas tema energi, sumber daya alam, lingkungan hidup, infrastruktur, dan pangan.
Polarisasi menguat
Adu tagar ini bukan hal baru selama masa pemilihan presiden pada Pemilu 2019. Residu pembelahan politik pada saat Jokowi dan Prabowo bersaing pada Pemilihan Presiden 2014 kembali mendapat momentum saat kedua tokoh itu berhadapan pada pemilihan presiden di Pemilu 2019. Para pendukung fanatik dua tokoh itu tidak jarang saling serang.
Penguatan polarisasi ini tidak sehat bagi demokrasi. Kajian International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) bertajuk ”The Global State of Democracy: Exploring Democracy’s Resilience” (2017), mengingatkan polarisasi merusak kohesi sosial yang dibutuhkan agar demokrasi berfungsi dengan baik.
Ada beberapa kajian yang menjelaskan soal penguatan polarisasi. Media sosial memungkinkan polarisasi menguat dengan munculnya efek gelembung informasi. Pengguna internet cenderung berinteraksi dengan orang lain yang punya pemikiran sama. Ada pula kajian yang mengaitkannya dengan kesenjangan yang melebar di masyarakat. Selain itu, tak bisa dimungkiri, apa yang terjadi di masyarakat ini juga dipengaruhi oleh elite politik yang kerap memberi contoh politik antagonistik, politik zero-sum-game, atau satu menang, satu kalah. Rival politik dianggap ancaman yang harus dilawan habis-habisan.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua pengajar di Harvard University, Amerika Serikat, dalam How Democracy Die (2018), mengingatkan, dalam demokrasi, selain ada aturan main tertulis, juga ada aturan tak tertulis. Aturan main tak tertulis yang menjadi salah satu ”penjaga” demokrasi ialah adanya sikap saling menahan diri dari elite politik.
Sikap ini bermakna, menghargai lawan politik sepanjang mereka menaati aturan konstitusional. Seberapa pun elite politik tidak menyukai gagasan atau sosok lawan politiknya, tetapi ia tetap menerima mereka sebagai ”lawan” yang punya legitimasi. Sebaliknya, ketika norma itu melemah, sulit mempertahankan demokrasi untuk berfungsi baik.
”Sebab, apabila kita memandang rival sebagai ancaman berbahaya, ada banyak hal yang ditakuti apabila mereka terpilih dalam sebuah pemilihan. Kita bisa jadi menggunakan cara apa pun yang diperlukan untuk mengalahkannya,” tulis Levitsky dan Ziblatt.
Dalam Pemilu 2019, hal ini juga perlu menjadi bahan refleksi dari para elite. Strategi untuk memenangi pemilihan dengan cara habis-habisan itu akan merusak demokrasi.
Narasi trivial
Selain pembelahan di media sosial, setelah debat, juga belum terlihat tendensi pengguna internet di Indonesia menggali narasi programatik dari capres Jokowi dan Prabowo. Tendensi ini tergambar dari data Google Trends Senin sore terkait pencarian dengan kueri ”debat Jokowi” dan ”debat Prabowo” di Indonesia dalam kurun waktu sehari terakhir. Kueri terkait pencarian dengan kedua frasa itu menunjukkan pencarian masih terbatas pada hal yang trivial.
Kueri terkait pencarian frasa ”debat Jokowi” yang melonjak tajam antara lain ”earphone Jokowi”, ”Jokowi pakai alat”, ”unicorn debat”, dan ”unicorn Jokowi”. Sementara itu, kueri terkait frasa ”debat Prabowo”, yang melonjak, antara lain ”unicorn Prabowo”, ”lahan Prabowo”, dan ”unicorn debat capres”. Tidak terlihat kueri terkait program mereka di tema debat.
Padahal, demokrasi yang sehat mengandaikan masyarakat mengambil keputusan politik yang terinformasi. Dengan kata lain, para pemilih memutuskan siapa calon presiden yang akan mereka pilih berbasis pada informasi memadai mengenai program kerjanya.
Pada akhirnya, polarisasi, melemahnya norma saling menahan diri di antara elite, serta narasi pemilihan yang trivial menjadi sebuah indikator persoalan dalam demokrasi. Akumulasi dari tiga persoalan itu berpotensi merusak konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Pada saat demokrasi di beberapa negara Barat tengah mundur akibat kerusakan institusional serta menguatnya pemimpin populis, Indonesia bisa berperan penting sebagai contoh baik. Yascha Mounk dan Roberto Stefan Foa dalam ”The End of Democratic Century: Autocracy\'s Global Ascendance” yang dimuat di Foreign Affairs (2018) menuturkan, di tengah merosotnya demokrasi di Barat, negara demokrasi berkembang, seperti Brasil, India, dan Indonesia, diharapkan bisa mengambil peran menjaga demokrasi dan menyebarkannya ke berbagai belahan dunia.
Hanya saja, mereka juga menyadari adanya potensi negara-negara demokrasi berkembang itu juga mengalami kemunduran demokrasi. Brasil sudah ”jatuh” ke pemimpin populis dengan kemenangan Jair Bolsonaro pada Pemilihan Presiden 2018.
Bisakah Indonesia mempertahankan demokrasi agar tidak mundur?