Hutan Rusak, 64 Desa di Musi Rawas Utara Rentan Banjir
Oleh
Rhama Purna Jati
·3 menit baca
RUPIT, KOMPAS - Dalam dua hari terakhir, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, terendam banjir. Selain akibat curah hujan yang tinggi, banjir juga disebabkan rusaknya hutan di kawasan hulu. Apabila hujan terus mengguyur, sebanyak 64 desa di Kabupaten Musi Rawas Utara, terancam banjir.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Musi Rawas Utara Zulkifli, saat dihubungi, Selasa (19/2/2019), mengatakan, banjir di Rawas Ilir disebabkan limpahan air dari kawasan hulu yang membuat Sungai Rawas dan Sungai Rupit meluap. Sungai Musi juga dalam kondisi pasang.
Berdasarkan laporan, lanjut Zulkifli, banjir merendam 1.802 rumah warga yang ditinggali oleh 2.572 keluarga di 8 kelurahan dan desa di Rawas Ilir. Hingga kini, warga enggan dievakuasi ke tempat pengungsian dan memilih bertahan di rumah-rumah mereka yang berbentuk panggung.
Zulkifli menerangkan, sebenarnya, banjir di Musi Rawas Utara sudah mulai terjadi di Kecamatan Karang Jaya pada Jumat (15/2) lalu. Saat itu, hujan deras mengguyur kawasan hulu selama tujuh jam sehingga menyebabkan banjir di kecamatan itu. Namun, banjir hanya berlangsung selama satu hari di sana sebelum air berpindah ke kecamatan lain.
Beberapa kecamatan yang sempat terendam banjir selain Karang Jaya adalah Kecamatan Rupit dan Kecamatan Karang Dapo. “Saat ini, air sampai ke wilayah paling hilir, yakni Kecamatan Rawas Ilir, yang bertahan cukup lama,” kata Zulkifli.
Menurut Zulkifli, sekitar 64 desa di Musi Rawas Utara berisiko terkena banjir karena berada di daerah aliran sungai (DAS) Rupit dan Sungai Rawas. Risiko semakin besar karena kondisi sungai yang mendangkal. Sejak enam tahun terakhir, kedalaman sungai hanya sekitar 4-5 meter. Padahal, sebelumnya, kedalaman sungai mencapai 10 meter.
Alih fungsi lahan di kawasan hulu juga menjadi penyebab banjir di kawasan hilir. “Banyak perambahan hutan dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi kelapa sawit, terutama di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), membuat Kabupaten Musi Rawas Utara rentan terhadap banjir,” ujar Zulkifli.
Menurut Zulkifli, normalisasi sungai sangat diperlukan agar banjir tak terulang setiap tahun. "Normalisasi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya pada titik tertentu, agar dampaknya terasa," kata dia.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hairul Sobri menerangkan, deforestasi hutan menjadi penyebab utama sejumlah bencana ekologi di daerah. Tidak hanya dalam bentuk alih fungsi lahan dari hutan menjadi kelapa sawit, tetapi juga perubahan fungsi hutan menjadi pertambangan.
Salah satu contoh kondisi itu, Hairul mengatakan, yakni di Kabupaten Lahat, yang menyebabkan banjir besar di Kabupaten Muara Enim tahun lalu. Melihat kondisi ini, Hairul menyatakan, perlu ketegasan dari pemerintah untuk tidak lagi mengeluarkan izin yang berpotensi merusak lingkungan.
Itulah sebabnya, pemerintah juga perlu memperhatikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam mengeluarkan izin eksploitasi alam. “Pemberian izin secara serampangan akan menimbulkan bencana ekologis lagi di Sumsel,” katanya.
Puncak musim hujan tahun ini diperkirakan terjadi pada Maret. Adapun intensitas hujannya diperkirakan 300-400 milimeter per bulan.
Walhi Sumsel mencatat, sepanjang tahun 2018, telah terjadi 176 bencana di 15 kabupaten/kota di Sumsel. Bencana tersebut berupa kebakaran hutan (57), banjir (44), longsor (7), kekeringan (5), dan pencemaran sungai (63).
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Sumsel Nandang Pangaribowo mengatakan, merujuk dari penelitian selama 30 tahun terakhir, musim hujan berlangsung pada November hingga Juni.
Puncak musim hujan tahun ini diperkirakan terjadi pada Maret. Adapun intensitas hujannya diperkirakan 300-400 milimeter per bulan. Meski begitu, dia mengatakan, semua pihak harus tetap waspada karena saat ini musim sulit untuk diprediksi.