Kepercayaan Konsumen E-Dagang Ditingkatkan Melalui Luring
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meskipun pertumbuhan perdagangan dalam jaringan atau e-dagang di Indonesia tumbuh pesat, nilai transaksi pengguna masih tergolong rendah. Kepercayaan konsumen terhadap e-dagang yang masih rendah diduga menjadi penyebab, sehingga perlu dibangun interaksi langsung antara konsumen dengan pemilik toko daring melalui pameran atau kegiatan luring.
Mengutip laporan e-Conomy SEA 2018 oleh Google dan Temasek, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, Selasa (19/2/2019), mengatakan, nilai transaksi ekonomi digital di Indonesia pada 2018 sebesar 27 miliar dollar AS atau Rp 391 triliun. Dari total itu, sebesar 12 miliar dollar AS bersumber dari transaksi e-dagang.
Pada 2025, transaksi e-dagang diperkirakan mencapai 53 miliar dollar AS. “Pertumbuhan e-commerce luar biasa pesat dan diprediksi akan terus meningkat. Di Asia Tenggara, Indonesia akan menjadi pasar yang terbesar,” kata dia.
Kendati begitu, jumlah pengguna e-dagang tergolong rendah. Dari 143 juta pengguna internet Indonesia, hanya 31,6 juta yang aktif berbelanja di laman e-dagang.
Untung menyatakan, angka itu setara dengan 11,5 persen dari total populasi Indonesia. Jumlah transaksi pun dinilainya rendah. Rata-rata pembelanjaan per pengguna internet pada 2018 itu tergolong rendah, sekitar Rp 1 juta dalam setahun. Pada 2023, jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi Rp 1,5 juta.
"Prediksi itu terlalu rendah untuk industri berskala besar ini. Perlu upaya mendorong orang menggunakan 30-40 persen dari pendapatannya untuk belanja daring,” kata Untung.
Rata-rata pembelanjaan per pengguna internet pada 2018 itu tergolong rendah, sekitar Rp 1 juta dalam setahun. Pada 2023, jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi Rp 1,5 juta.
Menurut Untung, salah satu kendala yang menghambat pengeluaran konsumen berbelanja daring adalah rendahnya konsumsi media daring oleh masyarakat. Hal ini diindikasikan tingginya iklan berbagai laman e-dagang di media konvensional seperti televisi, koran, dan papan reklame.
Tahun 2018, belanja iklan televisi oleh Bukalapak sampai Rp 800 miliar dan Shopee Rp 760 miliar. Traveloka mengeluarkan Rp 459 miliar untuk iklan televisi dan Tokopedia Rp 395 miliar.
Untung menambahkan, kendala lain yang dihadapi para pelaku e-dagang adalah rendahnya kepercayaan konsumen pada transaksi daring. Literasi digital yang rendah di masyarakat menyebabkan rasa curiga dalam berbelanja daring.
Selain itu, kualitas produk di laman e-dagang sering kali tidak konsisten. Ketiadaan standardisasi mutu produk e-dagang menyebabkan konsumen ragu membeli.
“Selain itu, faktor penggunaan panca indera juga terbatas. Kekurangan belanja daring adalah, orang enggak bisa sentuh, enggak bisa cium, ataupun rasakan. Biasanya, kalua ke mal, konsumen bisa memutuskan membeli roti karena mencium baunya," kata dia.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan itu, lanjut Untung, idEA akan membuat pameran e-dagang. Pameran itu akan mempertemukan konsumen dan Pedagang, sehingga ke depan diharapkan dapat mendorong jumlah transaksi e-dagang.
Pada 15-18 Agustus 2018, idEA akan menggelar pameran "Pasar IdEA" di Balai Sidang Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat. Sebanyak 421 pemilik toko daring dari berbagai laman e-dagang anggota idEA akan dapat bertemu dengan para konsumen.
Ketua Event Pasar idEA Josept Koko Hadjanto mengemukakan, berbagai jenis produk akan dipamerkan, mulai dari busana, gawai, hingga barang-barang bekas. Target pengunjung pameran sebanyak 120.000 orang. Dalam pemeran tersebut, idEA tidak menargetkan nilai transaksi.
“Inti dari pameran itu, idEA ingin mendorong masyarakat berubah dari I click, I pay (saya klik, saya bayar) menjadi I trust, I buy (saya percaya, saya beli),” kata Josept.
“Online to Offline”
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, porsi e-dagang terhadap ritel nasional hanya sekitar 2 persen. Sepanjang 2018, penjualan ritel diprediksi mencapai Rp 240 triliun (Kompas, 22 Oktober 2018).
Bhima memperkirakan, perputaran uang di e-dagang dapat ditingkatkan hingga Rp 200 triliun pada 2025. Untuk itu promosi harus makin gencar.
"Produk yang ditawarkan harus lebih banyak. Situs e-commerce harus bisa menggandeng lebih banyak usaha, terutama UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Infrastruktur digital perlu sampai ke perdesaan,” kata Bhima.
Selaian itu, perusahaan e-dagang harus memperbanyak program daring maupun luring. Bhima mencontohkan, Alibaba di China mulai masuk ke ritel luring, namun barang bisa dipesan secara daring melalui aplikasi. Voucher dan diskon juga diberikan secara daring melalui aplikasi.
Perusahaan e-dagang harus memperbanyak program daring maupun luring.
“Jadi online to offlline ini harus ada. Barang yang bisa dibeli secara luring itu juga tersedia secara daring. Digitalisasi warung-warung kecil juga bisa memperluas cakupan e-dagang,” kata Bhima.
Ketua idEA, Untung, memprediksi e-dagang akan mengarah pada system daring ke luring. Beberapa laman e-dagang seperti Matahari Mall, Blibli.com, dan Bhinneka.com telah memulai dengan menyediakan kotak pengambilan barang pesanan. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)