JAKARTA, KOMPAS— Sistem pelayanan kegawatdaruratan terpadu penanganan serangan jantung atau sindrom koroner akut perlu ditingkatkan. Banyak pasien terlambat mendapat pertolongan hingga meninggal.
”Golden period (waktu emas) menangani pasien serangan jantung 12 jam. Waktu ini penting untuk terapi reperfusi (membuka aliran darah yang tersumbat) untuk mencegah kematian pasien,” kata dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Dafsah Arifa Juzar, di Jakarta, Senin (18/2/2019).
Waktu terbaik pemberian terapi reperfusi adalah tiga jam pertama. Namun, pasien baru mendapat terapi pada 6-7 jam setelah serangan muncul. Jika penanganan lebih dari waktu ditentukan, komplikasi penyakit bisa timbul, seperti gagal jantung, gangguan irama jantung, hingga kematian.
Sindroma koroner akut atau serangan jantung terjadi karena otot jantung tak berfungsi akibat pembuluh darah tersumbat. Gejalanya, antara lain nyeri bagian tengah dada seperti tertindih benda berat, sesak napas, muntah, keringat dingin, serta nyeri dan kesemutan menjalar ke bagian lengan, bahu, punggung, dan rahang.
Kenali gejala
Anggota Departemen Keorganisasian Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Ade Meidian Ambari, menambahkan, keterlambatan penanganan jantung juga disebabkan minimnya kesadaran warga terhadap gejala serangan jantung. ”Banyak pasien menganggap gejala nyeri seperti ’masuk angin’. Pasien pun meninggal karena tak mendapat penanganan tepat,” katanya.
Riset kesehatan dasar 2018 mencatat, penyakit jantung koroner jadi penyebab kematian utama setelah stroke dan hipertensi. Data Global Health Data Exchange menunjukkan, penyakit jantung iskemik atau penyempitan pembuluh darah pada jantung jadi penyebab kematian terbanyak kedua setelah stroke pada 2007-2017.
Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Hidayat, penanganan pasien sejak ada gejala sampai ditangani di rumah sakit harus terpadu di semua instansi pemerintah. ”Perlu identifikasi penyebab penundaan penanganan serangan jantung tahap pre-hospital,” katanya. (TAN)