Gubernur Kalimantan Utara, Irianto Lambrie, mengapresiasi program bahan bakar minyak satu harga di wilayah perbatasan, terutama Kalimantan Utara. Menurut dia, sejak Indonesia merdeka, belum ada titik distribusi atau stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang tersedia di daerah perbatasan.
Saat ini, program bahan bakar minyak (BBM) satu harga tak hanya dilaksanakan di Papua, melainkan daerah lain di Indonesia, terutama di daerah terpencil di perbatasan. Pekan lalu, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan meresmikan titik distribusi atau stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) 66775004 di Desa Long Ampung, Kecamatan Kayan Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.
Kebijakan BBM satu harga memang menuntut keberanian pemimpin negara dalam mengambil keputusan yang lalu diikuti oleh jajarannya, baik kementerian teknis maupun operator seperti PT Pertamina (Persero), untuk melaksanakan. Mengapa? Mendistribusikan BBM cair seperti solar dan bensin di daerah pelosok bukan pekerjaan yang mudah. Biaya distribusi pun jauh berbeda dengan di Pulau Jawa.
Sebagai gambaran, distribusi BBM ke Desa Long Ampung membutuhkan waktu tiga hari dua malam dari terminal BBM di Samarinda, Kalimantan Timur. Dari terminal di Samarinda, BBM diangkut ke Pelabuhan Melak dengan waktu tempuh 8 jam. Dari Melak, BBM dipindah ke landing craft tank dan dibawa ke Long Bagun dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Dari Long Bagun, BBM dibawa dengan mobil gardan ganda ke Long Ampung dengan waktu tempuh 14 jam. Satu unit mobil membawa 1.000 liter atau 5 drum BBM.
Akan tetapi, dengan kebijakan BBM satu harga, masyarakat di daerah terpencil dan perbatasan merasakan kehadiran negara.
Ketersediaan BBM, seperti solar dan premium, sangat penting artinya bagi masyarakat untuk menopang aktivitas ekonomi. BBM menggerakkan transportasi pedesaan, angkutan sungai, atau menghidupkan generator listrik. Jika suatu daerah berada di pesisir, BBM sangat penting artinya bagi kapal-kapal nelayan.
Pertanyaannya, bagaimana kebijakan BBM satu harga bisa berjalan konsisten dan berkelanjutan? Di sisi ini butuh kebijakan lanjutan, antara lain di tingkat pemerintah daerah (Pemda). Pemda perlu membangun dan memperbaiki infrastruktur dasar, terutama jalan antarkabupaten, kecamatan, dan desa, agar distribusi BBM dan barang lain bisa berjalan lebih lancar.
Meskipun beban biaya program BBM satu harga masih relatif kecil, yaitu Rp 832 miliar pada tahun 2017 dengan volume penjualan sekitar 0,05 persen dari total penjualan BBM subsidi, aspek keuangan tetap perlu diperhatikan agar kebijakan dapat berkelanjutan. Biaya program BBM satu harga yang sekitar Rp 832 miliar itu masih jauh lebih kecil dibandingkan laba bersih PT Pertamina tahun 2017 sebesar Rp 32 triliun.
Pemda perlu membangun dan memperbaiki infrastruktur dasar, terutama jalan antarkabupaten, kecamatan, dan desa.
Akan tetapi, pada tahun 2018, pemerintah akan mengganti selisih harga dari penjualan BBM satu harga, yaitu selisih dari harga dasar dan harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah. Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang ditetapkan tanggal 23 Mei 2018.
Lewat kebijakan yang didukung perangkat regulasi serta sarana prasarana, program BBM satu harga diharapkan terus jalan. Dengan demikian, masyarakat bisa merasakan pembangunan ekonomi yang adil sebagai perwujudan sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.