Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah tengah merumuskan berbagai kebijakan baru untuk memudahkan dunia usaha, baik berupa insentif perpajakan, simplifikasi prosedur, maupun fasilitas lainnya. Di sisi lain, kebijakan yang sudah terbit akan dievaluasi dan disesuaikan dengan kebutuhan industri.
”Semua yang diinginkan industri sudah kami formulasikan dalam kebijakan. Hanya, kami menunggu waktu pengumuman yang tepat saat tensi politik tidak tinggi sekali. Saat ini bicara apa pun rawan dipolitisasi,” kata Sri Mulyani dalam dialog bersama pelaku usaha di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (19/2/2018).
Salah satu insentif perpajakan yang formulasinya sudah selesai ialah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ekspor jasa sebesar 0 persen dan pengurangan penghasilan kena pajak (super tax deduction) untuk industri berorientasi vokasi dan riset. Kedua insentif itu dalam tahap harmonisasi antarkementerian sehingga diperkirakan terbit pada Maret 2019.
Menurut Sri Mulyani, upaya mendorong ekspor semakin menantang di tengah risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global. Ekspor tidak bisa hanya mengandalkan diversifikasi pasar, tetapi harus secara bertahap meningkatkan daya saing dan efisiensi biaya. Untuk itu, insentif perpajakan menjadi salah satu instrumen fiskal yang digunakan.
”Kondisi APBN sekarang dalam keadaan sehat sehingga bisa mendesain insentif sesuai kebutuhan industri,” kata Sri Mulyani.
Ekspor tidak bisa hanya mengandalkan diversifikasi pasar, tetapi harus secara bertahap meningkatkan daya saing dan efisiensi biaya. Untuk itu, insentif perpajakan menjadi salah satu instrumen fiskal yang digunakan.
Akhir bulan lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Bank Dunia juga memperkirakan perekonomian global 2019 tumbuh melambat menjadi 2,9 persen dari 3 persen pada tahun lalu.
Sri Mulyani menambahkan, insentif yang diberikan pemerintah kepada industri harus dikompensasi dalam bentuk lain. Selain peningkatan ekspor, industri harus menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan riset. Pemberian insentif diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan perusahaan sehingga pajak yang disetorkan ke negara juga lebih besar.
Pertumbuhan ekonomi
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen tahun ini tidak akan tercapai jika pemerintah hanya mengandalkan pengendalian impor dan peningkatan konsumsi. Itu karena ekspor harus tetap tumbuh setidaknya 6,3 persen, yang salah satunya ditopang industri pengolahan.
Menurut perhitungan BKF, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun 2019, diperlukan pertumbuhan konsumsi 5,1 persen, konsumsi pemerintah 5,4 persen, investasi (PMTB) 7,0 persen, ekspor 6,3 persen, dan impor 7,1 persen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, pertumbuhan ekspor 6,3 persen masih mungkin tercapai. Ekspor industri pengolahan baru 40 persen sehingga masih bisa ditingkatkan. Beberapa industri saat ini mulai coba mengolah komoditas mentah sehingga punya nilai tambah saat diekspor.
Pemberian insentif tidak melulu harus berbasis peningkatan ekspor. Pemerintah dapat memberikan insentif kepada industri yang menjaga lingkungan hidup, seperti menggunakan energi baru terbarukan atau mengurangi plastik.
”Kami optimistis selama kebijakan pemerintah mendukung sektor riil, kami akan memberi masukan mana saja hambatan yang menjadi kendala,” ujar Hariyadi.
Terkait dengan insentif perpajakan, lanjut Hariyadi, pemberian insentif tidak melulu harus berbasis peningkatan ekspor. Pemerintah dapat memberikan insentif kepada industri yang menjaga lingkungan hidup, seperti menggunakan energi baru terbarukan atau mengurangi plastik. Tujuannya, untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.