Debat kedua pemilihan presiden pada Pemilu 2019 di antara dua calon presiden dinilai belum optimal meyakinkan pemilih bimbang.
JAKARTA, KOMPAS - Meski debat kedua pemilihan presiden pada Pemilu 2019 antara calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto lebih menarik dibandingkan dengan debat pertama, hal ini dinilai belum optimal untuk meyakinkan calon pemilih yang masih bimbang atau belum menentukan pilihan. Pasalnya, pemilih kategori ini cenderung kritis sehingga butuh paparan program yang lebih konkret dan terukur.
Selain berperan penting dalam penentuan kemenangan kandidat, partisipasi pemilih bimbang juga dibutuhkan guna terwujudnya target partisipasi pada Pemilu 2019, yang oleh KPU ditetapkan 77,5 persen.
Pada debat Minggu (17/2/2019) malam yang mengangkat tema energi, sumber daya alam, lingkungan hidup, pangan, dan infrastruktur, dua capres tampil lebih spontan daripada debat pertama pada 17 Januari lalu. Namun, menurut pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, kedua calon belum menawarkan program dengan cukup detail.
”Jika untuk meyakinkan basis pemilih masing-masing, (debat kedua) mungkin bisa. Namun, jika untuk meyakinkan pemilih gamang yang kritis dan tidak mudah puas, diperlukan pendekatan yang lebih konkret dan komprehensif,” kata Airlangga yang dihubungi dari Jakarta, Senin (18/2).
Hasil survei Litbang Kompas pada 24 September-5 Oktober 2018 menunjukkan potensi pemilih yang belum menentukan pilihan mencapai 14,7 persen. Sementara itu, jajak pendapat Litbang Kompas pada 13-14 Januari 2019, dengan melibatkan 620 responden di 17 kota besar di Indonesia, menunjukkan, 42,4 persen dari kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) menyatakan, debat kedua menjadi salah satu pertimbangan mereka menjatuhkan pilihan.
Dalam debat kedua, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyediakan segmen eksploratif yang memungkinkan Jokowi dan Prabowo lebih leluasa beradu argumentasi. Namun, pemanfaatan segmen itu dinilai belum maksimal.
”Model debat seperti ini diharapkan lebih dinamis, beradu argumen, tapi ini belum muncul,” kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana.
Direktur Program Saiful Mujani Research and Consulting Sirojuddin Abbas menilai debat kedua berpotensi memberi dampak elektoral lebih baik dibandingkan debat pertama.
Namun, ia menilai, penampilan kedua capres pada debat kedua belum cukup memenuhi ekspektasi semua pemilih mengambang. Perubahan sikap pemilih mengambang, katanya, dipengaruhi aspek rasional dan psikologis. Dari aspek rasional, pemilih mengambang memperhatikan rekam jejak dan agenda kebijakan yang bisa memberi arah lebih baik bagi Indonesia serta cocok dengan kepentingan mereka. Dari aspek psikologis, mereka memperhatikan simpati dan kecakapan calon pemimpin dalam memahami masalah masyarakat.
Alat bantu
Setelah debat berakhir, di media sosial tersebar foto Jokowi yang disebut mengenakan alat bantu komunikasi, earpiece. Foto itu diberi keterangan earpiece, terdiri dari perangkat kecil yang tersembunyi di telinga serta alat pengendali yang dipegang di tangan. Namun, hal ini dibantah Jokowi. Ia kemudian menunjukkan pena yang dipegangnya selama debat.
”Ada-ada saja. Itu fitnah. Fitnah yang seperti itu jangan diterus-terusin,” ujar Jokowi di Pandeglang, Banten.
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, menuturkan, sepengetahuan KPU, baik Jokowi maupun Prabowo tidak ada yang memakai alat bantu dengar. ”Sulit memahami wacana seolah ada capres yang menggunakan alat bantu itu,” katanya.
Kurang penajaman
Berbagai persoalan dan tantangan pembangunan yang dibahas dalam debat hari minggu lalu sebenarnya perlu dielaborasi dengan langkah-langkah yang lebih konkret.
Sebagai contoh, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, kedua capres memiliki kesamaan untuk mengurangi penggunaan energi fosil. Namun, debat belum masuk ke masalah harga dari penggunaan minyak nabati dan ketersediaan pasokan.
Selain itu, juga ada isu penting yang tidak muncul, salah satunya soal polusi udara. ”Isu polusi udara tidak pernah jadi prioritas,” kata Bondan Andriyanu, perwakilan Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta.