Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kurangi Perusakan Hutan
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat desa kerap kali terpaksa merusak hutan karena terhimpit kebutuhan ekonomi. Ketersediaan mata pencaharian baru bisa menyelesaikan persoalan itu. Tantangannya, butuh waktu lama agar mereka percaya tawaran itu akan membuat mereka lebih sejahtera.
Meski diakui, mencari penghasilan di hutan tak hanya melelahkan, namun juga tak seberapa hasilnya, masyarakat desa kerap mengandalkan sumber daya alam yang tersedia di hutan sebagai sumber mata pencaharian. “Masuk ke hutan itu melelahkan, dan hasilnya pun tidak seberapa,” kata fasilitator Program Forest and Climate Change Financial Cooperation (FORCLIME FC) di Desa Laban, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Henrikus, di Jakarta, Selasa (19/2/2019).
FORCLIME FC merupakan program kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI dan Kementerian Ekonomi dan Pembangunan Jerman. Tujuannya mengajak masyarakat desa mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.
Sebelum program itu bergulir, mayoritas orang di Laban mencari nafkah dengan menoreh getah karet. Mereka hidup kekurangan karena hasil penjualan getah karet tidak menghasilkan cukup uang untuk memenuhi hidup mereka.
“Waktu itu kami terpaksa mencuri kayu agar anak bisa bersekolah,” kata Henrikus. Ia mengatakan, risiko lelah yang ditanggung ketika masuk ke hutan tidak sebanding dengan hasil menjual kayu ke cukong yang dihargai seenaknya.
Oleh karena itu, Henrikus termasuk warga desa di Kapus Hulu yang paling antusias ketika mendengar ada Program FORCLIME FC. Dengan rela hati, ia menawarkan diri sebagai fasilitator untuk mengajak warga memanfaatkan dana bantuan untuk beternak ikan dan bertani sayur.
“Kenapa harus susah payah masuk hutan, kalau di dekat rumah saja kami bisa hidup tercukupi,” ujar Henrikus. Keterlibatan Henrikus sebagai warga setempat berhasil mempercepat penetrasi program FORCLIME FC secara signifikan di kabupaten itu.
Peran masyarakat
Peran masyarakat asli seperti Henrikus menjadi penentu keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat. Tanpa munculnya tokoh masyarakat yang peduli, program itu akan macet ketika ditinggal para penyuluhnya.
Kepala Biro Perencanaan KLHK Ayu Dewi Utari mengatakan, kepercayaan masyarakat itu didapat melalui usaha panjang para petugas di lapangan. “Keberhasilan program peningkatan kesejahteraan masyarakat agar tetap berlanjut sepenuhnya bergantung pada partisipasi mereka,” katanya.
Program FORCLIME FC dimulai pada 2010 dan akan diakhiri pada 2020. Cakupan wilayahnya meliputi Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat, Kabupaten Berau di Kalimantan Timur, dan Kabupaten Malinau di Kalimantan Utara.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo mengatakan, titik penentu keberhasilan program FORCLIME FC adalah identifikasi tokoh masyarakat yang mau berkontribusi. Dengan begitu, manfaat program itu bisa terasa karena masyarakat sadar mereka memang membutuhkannya.
“Program seperti ini pasti gagal kalau tidak ada kemauan sendiri dari unsur masyarakat. Percuma itu, karena yang terjadi kemudian hanya menghambur-hamburkan uang,” kata Hariadi.