Perhatian yang besar pada pemilu presiden berpotensi mengurangi pengawasan publik pada pemilu legislatif. Akibatnya, dikhawatirkan terjadi kecurangan selama pileg.
JAKARTA, KOMPAS - Pemilu presiden dan pemilu legislatif yang digelar serentak pertama kali pada 2019 dikhawatirkan mengurangi pengawasan publik atas pileg. Sebab, perhatian publik lebih besar terhadap pilpres. Hal ini salah satunya berpotensi terjadi kecurangan selama pileg.
Direktur Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi saat diskusi bertajuk ”Peta Kerawanan dan Antisipasi Pelanggaran Pungut Hitung di Pemilu Serentak” di Jakarta, Senin (18/2/2019), mengatakan, kecurangan berpotensi besar terutama saat penghitungan suara pileg.
Hal ini disebabkan proses penghitungan hasil suara pileg di tempat-tempat pemungutan suara pada 17 April 2019 dilakukan setelah penghitungan hasil suara pilpres.
”Proses penghitungan (hasil pileg) semakin lama, bahkan bisa sampai tengah malam. Perhatian yang minim ini akan menimbulkan banyak potensi pelanggaran. Di sini proses manipulasi suara rentan terjadi,” katanya.
Selain Veri, hadir anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah, pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Andalas Khairul Fahmi, serta peneliti dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Erik Kurniawan.
Menurut Veri, manipulasi suara dalam pileg rentan terjadi karena ketatnya persaingan antarcaleg. Selain itu, mereka juga mempunyai tanggung jawab membawa partainya lolos ambang batas parlemen. Sebab, jika partainya tidak lolos, percuma saja raihan suara yang diperoleh caleg.
Seperti diketahui, Pileg 2019 melibatkan 7.968 calon anggota legislatif DPR, 807 caleg DPD, dan sekitar 22.000 caleg DPRD provinsi dan kabupaten/kota. ”Praktik (manipulasi suara) ini rawan karena model penetapan kursi caleg secara proporsional terbuka. Para caleg harus bersaing untuk mendapatkan suara terbanyak, bahkan dari pesaingnya dalam satu partai yang sama,” tutur Veri.
Mengacu temuan pelanggaran Pileg 2014, bentuk dari praktik manipulasi suara bisa berupa jual-beli suara antarcaleg, penggembosan suara yang berdampak pada penggelembungan suara caleg tertentu, ataupun mengambil suara partai untuk caleg tertentu.
Menurut Erik Kurniawan, kecurangan bisa terjadi karena kesalahan desain pemilu serentak. Contohnya yakni soal pemilihan isu.
Menurut Erik, isu nasional sangat jauh berbeda dibandingkan isu lokal. ”Isu lokal akhirnya tenggelam dan para caleg tidak punya isu lokal yang bisa diperjuangkan,” kata Erik.
Selain itu, lanjut Erik, saat pemilu serentak, ternyata tak semua caleg juga mendapatkan insentif elektoral dari calon presiden-calon wakil presiden yang diusung partainya. Padahal, di sisi lain, mereka harus menggelontorkan dana untuk memenangi Pileg 2019.
”Akhirnya, mereka keep (menjaga) dana yang besar untuk amankan, bahkan melakukan pencurian suara,” tutur Erik. Potensi kecurangan diperkirakan juga semakin besar lewat politik uang ke pemilih.
Hurriyah pun mengingatkan publik dan penyelenggara pemilu untuk memperkuat pengawasan, tak hanya pada proses pilpres, tetapi juga pileg. Penguatan pengawasan itu hendaknya dimulai dari proses penggunaan hak suara, pemungutan suara, hingga penghitungan suara.
Fritz Edward Siregar juga menyadari besarnya potensi kecurangan saat pileg. Oleh karena itu, Bawaslu berusaha seoptimal mungkin memperkuat pengawasan di tempat-tempat pemungutan suara lewat Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. (Dionosio Damara)