Amar Bank Salurkan Rp 1,5 Triliun Pinjaman Mikro Sepanjang 2018
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Amar Bank mencatatkan penyaluran kredit tanpa agunan sekitar dari Rp 1,5 triliun sepanjang 2018 melalui program Tunaiku. Di saat yang sama, kredit macet dapat dijaga di level rendah dengan mengandalkan bantuan sistem analisis data besar.
Dalam kunjungan ke Redaksi HarianKompas, Selasa (19/2/2019), Managing Director Amar Bank Vishal Tulsian mengatakan, posisi keuangan Bank Amar meningkat dari 100 miliar pada 2014 menjadi 2 triliun pada 2018. Pertumbuhan ini didorong salah satunya oleh pemberian kredit tanpa agunan (KTA) dalam program Tunaiku. Selama 2018, sekitar Rp 1,5 triliun disalurkan melalui program Tunaiku, tumbuh 405 persen dari tahun sebelumnya.
“Saat ini, 14 juta orang yang menempati piramida teratas layanan keuangan di Indonesia telah dilayani oleh lebih dari 100 bank. Sulit untuk masuk ke pasar tersebut dan bersaing dengan bank seperti Bank Mandiri atau BNI. Karena itu, kami menarget 200 juta orang yang belum tersentuh layanan perbankan,” kata Vishal.
Mayoritas kelompok tersebut umumnya adalah masyarakat yang tidak memiliki pencatatan keuangan dan berpenghasilan menengah ke bawah. Menurut Vishal, segmen masyarakat tersebut tidak bisa mendapatkan pinjaman karena tidak ada catatan arus kas, slip gaji, ataupun laporan laba rugi. Padahal, konsumen ini kerap membutuhkan pinjaman dalam jumlah kecil untuk tujuan mendesak.
“Ada konsumen yang sangat butuh Rp 4-5 juta untuk memperbaiki rumah, sepeda motor, atau membayar uang sekolah. Karena itu, kami memberikan pinjaman mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 20 juta dengan tenor 6-20 bulan tanpa agunan,” kata Vishal.
Adapun bunga pijaman KTA tersebut ditetapkan 3 persen per bulan. Bersama program pinjaman lain, Bank Amar menyalurkan 61,27 persen pinjaman produktif, sedangkan 38,73 persen sisanya pinjaman konsumtif.
Di saat yang sama, rasio kredit macet (NPL) Tunaiku dijaga di level 0,61 persen. Angka ini jauh dari batas yang ditetapkan OJK, yaitu 5 persen. Salah satu faktor penting yang memengaruhi adalah pembentukan tim ilmuwan data (data scientists) untuk mengoperasikan mesin kecerdasan buatan yang disebut Big Data Analytic Engine. Anggota tim pun berasal dari beberapa negara Eropa seperti Finlandia dan Estonia.
“Kami merekrut tim data scientists dari negara-negara Eropa, karena ilmu data sudah berkembang pesat di sana. Tugas mereka adalah memproses kelayakan kredit setelah mengumpulkan data nasabah dengan teknologi yang paling mutakhir,” kata Vishal.
Saat ini, jumlah debitur Tunaiku mencapai 170.000 hingga 2018 di 16 kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Ekspansi Tunaiku ke berbagai kota tersebut dilaksanakan secara perlahan. Sebab, data debitur dikumpulkan sedikit demi sedikit. Itu memberi waktu bagi tim ilmuwan data untuk mengumpulkan cukup data sehingga mesin pembelajar bisa menilai kelayakan tipe-tipe debitur.
Pendaftaran kredit pun dilakukan dalam jaringan sehingga Amar Bank tidak perlu membuat kantor cabang di kota selain Surabaya dan Jakarta. Di kota-kota lain, penandatanganan kredit dibantu oleh agen-agen referal.
Menurut Vishal, Tunaiku menjadi produk perbankan pertama yang sangat bergantung pada teknologi. “Kami menawarkan program ini kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada 2014 dan disetujui. Memang, pertumbuhan kami di awal cenderung rendah. Tapi itulah syarat untuk mewujudkan inklusi keuangan,” kata Vishal.
Tunaiku mirip dengan aplikasi pinjam-meminjam antarpihak (peer-to-peer lending/P2P lending). Namun, kata Vishal, lembaga P2P lending umumnya memberikan pinjaman dengan tenor 30 hingga 45 hari.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan, pinjaman daring membatasi bunga 0,8 persen per hari. Akumulasi bunga akan terhenti pada hari ke-90.
Lembaga pendanaan daring lainnya, Investree, mendapatkan aliran dana dari program Tunaiku Bank Amar.
Ke depan, kata Vishal, pasar keuangan Indonesia akan tetap menarik. Sebab, terdapat 19 juta penduduk kelas menengah atas dengan pendapatan lebih dari 10.000 dollar AS, jauh di atas produk domestik bruto per kapita Indonesia sebesar 400 dollar AS. “Jumlah (kelas menengah dengan pendapatan lebih dari 10.000 dollar AS) tersebut tidak ada di negara Asia Tenggara lainnya. Ini adalah kesempatan besar bagi sektor perbankan,” kata Vishal. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)