Antisipasi Risiko Global, Pemerintah Pilih Strategi "Front Loading"
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam satu bulan, Kementerian Keuangan sudah menerbitkan surat berharga negara lebih dari 40 persen pagu pembiayaan defisit APBN 2019. Strategi penerbitan lebih awal, atau disebut front loading, ini ditempuh guna mengantisipasi risiko ketidakpastian ekonomi global.
Berdasarkan data realisasi APBN 2019 bulan Januari yang dirilis Rabu (20/2/2019) sore, pembiayaan defisit anggaran mencapai Rp 122,5 triliun atau 41,4 persen dari pagu. Defisit dibiayai melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 119,54 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 2,93 triliun.
Realisasi pembiayaan defisit tahun ini melonjak dibandingkan tahun lalu. Pada Januari 2018, realisasi pembiayaan anggaran hanya Rp 27,6 triliun atau 8,5 persen dari pagu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, strategi front loading ditempuh untuk mengantisipasi ketidakpastian global. Setelah bergejolak hingga akhir 2018, dinamika ekonomi global mulai mereda dan cenderung kondusif pada awal Januari tahun ini. Melihat kondisi tersebut pemerintah memutuskan untuk menerbitkan surat utang global.
“Kita melihat adanya kesempatan cukup baik pada Januari ini sehingga pembiayaan utang direalisasikan cukup signifikan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers realisasi APBN 2019 edisi Februari di Jakarta, Rabu.
Dinamika ketidakpastian perekonomian global diperkirakan berlanjut pada tahun ini. Ketidakpastian itu berasal dari ketidakpastian perang dagang AS-China, keputusan Brexit, fluktuasi harga komoditas global, dan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed. Situasi tersebut berdampak pada perlambatan ekonomi dan volume perdagangan global.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, realisasi penerbitan SBN yang mencapai 40 persen dihitung secara neto. Sementara apabila dihitung berdasarkan SBN bruto baru sekitar 17 persen. Dalam APBN 2019, target penerbitan SBN bruto sebesar Rp 825,7 triliun, sedangkan SBN neto sebesar Rp 388,96 triliun.
“Realisasi penerbitan SBN sebaiknya dilihat dari bruto bukan neto. Sebab, utang jatuh tempo ada yang bergeser dari Januari ke Februari. Penerbitan SBN bruto pada Januari 2018 sekitar 16 persen sehingga sebenarnya tidak berbeda jauh,” kata Luky.
Luky menuturkan, penerbitan SBN melalui strategi front loading itu mayoritas dalam denominasi valuta asing. Selain kondisi ekonomi global yang cukup kondusif, penerbitan SBN mempertimbangkan likuditas investor yang cukup baik pada awal tahun. Minat investor terhadap SBN valas tinggi sehingga peluang untuk mencapai target lebih besar.
Jatuh tempo utang
Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia, utang luar negeri pemerintah per Desember 2018 sebesar 183,2 miliar dollar AS. Berdasarkan nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu, yang sebesar Rp 14.055 per dollar AS, utang itu setara Rp 2.575 triliun.
Utang luar negeri pemerintah terdiri dari pinjaman Rp 775,8 triliun dan surat utang Rp 1.799 triliun. Adapun utang jatuh tempo pada tahun 2019 sebesar Rp 382,74 triliun.
Luky mengatakan, ada pergeseran jatuh tempo utang dari awalnya Januari menjadi Februari. Oleh karena itu, pemerintah banyak menerbitkan SBN valas di bulan Januari untuk membayar utang jatuh tempo pada Februari. Penerbitan SBN valas juga untuk menghindari efek crowding out di pasar dalam negeri.
“Front loading yang dilakukan bulan Januari digunakan untuk pembiayaan kembali (refinancing) utang jatuh tempo bulan Januari,” kata Luky.
Pemerintah kini berupaya menurunkan utang dari penerbitan surat berharga negara tahun ini. Penurunan utang dilakukan seiring dengan defisit APBN yang mengecil. Langkah ini juga dibutuhkan untuk mengantisipasi beban bunga utang akibat volatilitas kurs rupiah.
Pembiayaan utang dalam APBN 2019 sebesar Rp 359,3 triliun atau lebih rendah dari realisasi APBN 2018 sebesar Rp 366,7 triliun. Pada 2017, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 429,1 triliun.