Bukti Cinta dan Setia Omah Akromah Untuk Penyintas Tsunami Banten
Omah Akromah (63) menunjukan arti penting kesetiaan. Dia tetap jadi "ibu" bagi penyintas tsunami Selat Sunda, saat banyak pos pengungsian lainnya di Pandeglang, Banten, tutup pintu. Tak ingin penyintas hidup sia-sia pascabencana, sejumlah bekal hidup ia paparkan untuk bekal di kemudian hari.
Oleh
Dwi Bayu Radius
·5 menit baca
Omah Akromah (63) menunjukkan arti penting kesetiaan. Dia tetap menjadi ”ibu” bagi penyintas tsunami Selat Sunda di saat banyak pos pengungsian lainnya di Pandeglang, Banten, tutup pintu. Tak ingin penyintas hidup sia-sia pascabencana, sejumlah bekal hidup ia paparkan untuk bekal pada kemudian hari.
Setelah merampungkan beragam urusan rumah tangganya, Omah menuju gedung Majelis Taklim Al-Ikhlas Labuan, Pandeglang, berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Di sana, ratusan warga penyintas tsunami Selat Sunda menantinya. Mereka menanti pembagian bahan kebutuhan pokok dari para donatur.
”Distribusi bahan kebutuhan pokok menjadi tantangan terbesar. Pengungsi rentan berebut untuk mendapatkannya. Saya biasa mengabsen satu per satu agar distribusi berjalan lancar, tidak ada yang mengambil jatah dua kali,” ujarnya. Cara itu sekaligus untuk mendata jumlah terakhir pengungsi. Omah dipercaya menjadi koordinator pengungsian yang dibuka sejak 26 Desember 2018, empat hari setelah tsunami melanda Selat Sunda.
Untuk memudahkan pendataan, ia juga terlibat menata kardus-kardus berisi beras, mi instan, pasta gigi, dan air mineral. Selain mempermudah pendistribusian, cara itu untuk mengukur jumlah stok bantuan yang masih tersedia. Jumlah persediaan logistik sangat menentukan saat dibagi rata kepada warga.
Dengan segala kesibukan itu, tidak heran jika ia menjadi sukarelawan yang paling awal datang dan terakhir pulang ke rumah. Omah ingin memastikan kebutuhan penyintas terlayani, dari kesediaan pangan hingga kebutuhan kesehatan. Kapan pun dia siap membantu. ”Pernah pada tengah malam saya ikut mengantar pengungsi periksa ke puskesmas. Semua dijalani dengan bahagia. Jangan suka mengeluh lelah. Hati kita harus bersih. Ikhlas saja,” ujarnya tersenyum.
Distribusi bahan kebutuhan pokok menjadi tantangan terbesar. Pengungsi rentan berebut untuk mendapatkannya. Saya biasa mengabsen satu per satu agar distribusi berjalan lancar, tidak ada yang mengambil jatah dua kali.
Bekal bangkit
Gedung Majelis Taklim Al-Ikhlas menjadi ”rumah” sementara bagi penyintas bencana yang masih berdiri di Pandeglang. Daerah ini menjadi kabupaten yang terkena dampak tsunami paling parah.
Jumlah pengungsi di kabupaten itu puncaknya mencapai 33.000 orang dan tinggal di lebih dari 50 lokasi. Seiring berlalunya waktu, jumlah pengungsian menyusut. Pengungsian di Majelis Taklim Al-Ikhlas menjadi sedikit dan satu-satunya yang tersisa melayani kebutuhan penyintas bencana. Hingga Senin (28/1/2019), jumlah pengungsi majelis berjumlah 235 orang. Bukan hanya Labuan, mereka juga berasal dari kecamatan-kecamatan lain di Pandeglang, seperti Jiput dan Saketi.
Banyak di antara penyintas sebelumnya tidak tinggal di pengungsian. Pascabencana, dengan uang simpanannya, warga menyewa rumah atau kamar. Namun, karena terlalu lama dan urung bekerja, mereka kehabisan uang dan beralih tinggal di pengungsian.
Ada juga penyintas yang tadinya mengungsi ke rumah kerabat. Namun, karena sungkan menumpang terlalu lama, mereka pilih pindah ke pengungsian demi meringankan beban keluarga.
”Apabila di tempat lain berkurang, di sini jumlahnya terus bertambah. Di awal Januari 2019 saja jumlah pengungsi di gedung Majelis Taklim Al-Ikhlas hanya 168 orang,” kata Omah.
Perhatian Omah diakui banyak pihak menjadi magnet pengungsi betah tinggal di Majelis Taklim Al-Ikhlas. Kondisi infrastruktur ideal, yang diperjuangkan Omah, seperti WC bersama jadi faktor lain. Omah memastikan pengungsian adalah rumah kedua. Semuanya harus disiapkan dengan sempurna.
Bintara Pembina Desa di Labuan Sersan Kepala Tahir mengatakan, Omah amat berdedikasi. Jika penyintas baru tiba di pengungsian, Omah selalu menyambutnya. Tak pernah ada perbedaan sikap yang ia pelihatkan antara penghuni lama dan baru.
”Omah selalu siap memberikan tikar, makanan, selimut, dan obat dengan jumlah kebutuhan yang sama untuk penyintas yang membutuhkannya,” kata Tahir.
Tidak sekadar menjadi tempat singgah dan pos distribusi logistik, pengungsian yang dikelola Omah juga menjamin kesehatan mental penyintas bencana. Sejumlah aturan penuh disiplin disiapkan. Omah tidak ingin penyintas berleha-leha. Dengan kepala dan hati yang tetap segar, dia yakin bakal menjadi bekal hidup pengungsi menata hidup pascabencana.
Apabila di tempat lain berkurang, di sini jumlahnya terus bertambah. Di awal Januari 2019 saja jumlah pengungsi di gedung Majelis Taklim Al-Ikhlas hanya 168 orang.
Omah antara lain memberlakukan dan mengawasi piket menjaga kebersihan yang dilakukan ibu-ibu. ”Semua harus bangkit dari bencana, minimal semangat hidup bersama orang-orang di sekitarnya. Saya berterima kasih mereka semua melaksakannya,” ujarnya.
Sementara para pria dewasa dibuatkan jadwal ronda. Secara bergantian, enam laki-laki mengawasi keamanan pengungsian itu setiap hari pukul 20.00-06.00. ”Mereka disediakan kopi dan makanan kecil. Alhamdulillah, selama ini tak ada barang hilang,” ujarnya.
Uniknya, ketegasan Omah tidak membuat penyintas angkat kaki. Beberapa penyintas sempat hendak dipindahkan, tetapi mereka menolak. ”Mereka mau di sini saja meski pengungsian lain tempatnya lebih besar. Di sini enak. Tertib,” katanya.
Kembali sekolah
Pengalaman Omah berbagi cinta bukan muncul kali ini saja. Sebelumnya beragam kegiatan sosial telah ia lakoni. Ia mengatakan sejak muda sudah aktif dalam beragam kegiatan, mulai dari OSIS, Pramuka, pengajian, hingga PKK.
Omah juga terbiasa mengantar warga setempat yang sakit ke puskesmas. Dia bersyukur tidak ada di antara mereka menderita penyakit berat. ”Paling sesak napas saja. Alhamdulillah, setelah diobati, mereka sembuh,” ujarnya.
Salah satu pencapaian terbesarnya saat membawa banyak anak putus sekolah kembali menuntut ilmu lewat program Kejar Paket A, B, dan C. Hampir semuanya adalah anak-anak nelayan miskin di Labuan. Omah tak mengetahui pasti jumlah anak yang telah dibantunya agar bisa melanjutkan sekolah. Saat pensiun dari profesinya sebagai guru tahun 2015, dia memperkirakan ada sekitar 50 anak itu kembali ke sekolah.
”Setelah didata, kami mendorong anak-anak putus sekolah itu mengikuti Kejar Paket A, B, dan C. Kebetulan mereka anak nelayan tanpa kapal. Miskin. Anak-anak meninggalkan bangku sekolah untuk membantu orangtuanya mencari nafkah di laut,” ucapnya.
Ke depannya, Omah mengatakan akan terus bersama para pengungsi. Restu keluarga ada bersamanya. Dia diberi kebebasan mendampingi penyintas meski selalu datang pagi dan kerap pulang menjelang pergantian hari.
Meski tidak tahu sampai kapan, Omah tidak berkeberatan mengulurkan tangan untuk sesama. Saat hidupnya terus diberi napas oleh Yang Mahakuasa, selama tubuh rentanya terus bertenaga, Omah ingin terus melakukan banyak hal baik untuk siapa saja.
Omah Akromah
Lahir: Pandeglang, Banten, 29 Mei 1955
Suami: Mimin Muhaemin (63)
Anak:
- Irfan Sariful Alam (43)
- Faisal Akrobi (41)
- Reno Triharto (39)
- Fahru Ardiansyah (36)
- Ari Ruhbi Sultana (31)
- Muhammad Akmal Maulana (17)
Pendidikan:
- Sekolah Dasar Negeri 1 Pandeglang, Banten (1962-1968)
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten (1968-1971)
- Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Pandeglang, Banten (1971-1974)
- D-2 Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Terbuka Kota Bogor, Jawa Barat (1992-1994)