Butik Daur Ulang Project B Indonesia di Sleman
SLEMAN, KOMPAS — Butik dan sampah adalah dua kata yang sangat berseberangan. Butik lebih berhubungan dengan sesuatu yang indah dan bernilai tinggi, sedangkan sampah itu sesuatu yang tak bernilai, kotor, serta tak bermanfaat lagi.
Hadirnya ”Butik Daur Ulang” ingin menunjukkan bahwa sebenarnya sampah dengan pengolahan tertentu bisa menghasilkan nilai tambah.
Ruang pamer butik itu tidak besar. Kurang lebih hanya berukuran 4 meter x 10 meter. Di ruangan itu, dipajang dengan rapi tas, dompet, dan pernak-pernik cantik lainnya.
Sekilas, orang tidak akan mengira barang-barang tersebut merupakan hasil daur ulang sampah plastik. Kecuali, bagi mereka yang secara jeli memperhatikan ada ”merek” produk makanan dan minuman kemasan atau deterjen yang mengintip di hasil kerajinan tangan itu.
Butik Daur Ulang merupakan pengembangan usaha dari Project B Indonesia, sebuah proyek sosial berbasis lingkungan yang diinisiasi oleh Hijrah Purnama Putra dan sejumlah temannya. Itu semua berawal dari keprihatinan mereka akan banyaknya sampah plastik yang terbuang sia-sia dan mengotori lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
”Kami memulainya pada tahun 2008. Waktu itu, kami yang sering nongkrong di warung burjo atau warung makan mi instan, sering lihat sampah-sampah plastik dibuang begitu saja. Padahal, sebenarnya bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bernilai,” kata Hijrah, di Butik Daur Ulang Project B Indonesia, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (17/2/2019).
Hijrah, yang saat itu berkuliah di Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia, merasa ilmu tentang pengolahan sampah yang dipelajarinya bisa digunakan untuk menjawab keresahannya itu. Sebab, sampah-sampah tersebut jika dibiarkan saja, pasti hanya akan berakhir hanyut di sungai, ditimbun dalam tanah, serta dibakar, mengingat tidak banyak masyarakat tahu tentang cara pengolahan sampah.
”Kalau begitu, kan, nanti akan berpengaruh dengan kualitas lingkungan juga. Jadi, kami coba mengedukasi pemilik warung-warung makan agar mereka mau mengumpulkan sampah-sampah plastiknya. Tidak langsung membuangnya,” kata Hijrah.
Sampah plastik yang dikumpulkan itu berupa bungkus makanan dan minuman kemasan. Setiap pekan, pada Sabtu dan Minggu, Hijrah bersama teman-temannya mendatangi para pemilik warung makan untuk mengambil sampah plastik yang telah dikumpulkan. Setelahnya, mereka akan mencuci dan menjemur sampah itu lalu disimpan di gudang.
”Dalam waktu satu tahun, gudang milik kami penuh. Kami kemudian mencari lewat Google, sampah plastik ini bisa dijadikan produk apa saja. Dari situ, kami membuat kerajinan tangan, seperti tas atau map yang kemudian kami pasarkan lewat media sosial. Kebetulan mendapat respons yang bagus,” kata Hijrah.
Hijrah menceritakan, dalam perjalanan waktu, pesanan selalu datang setiap bulan. Bahkan, pada 2010, ia bisa menjual produknya hingga ke Filipina. Bisnis itu pun digarap secara lebih serius dengan mengedepankan prinsip kewirausahaan sosial. Ia ingin agar bisnis itu memberikan keuntungan tak hanya berupa materi, tetapi juga manfaat dalam bentuk lain kepada masyarakat.
”Sebesar 30 persen dari keuntungan kami berikan kepada masyarakat sebetulnya. Setiap bulan, setidaknya ada 4-5 lokasi yang kami datangi untuk mengedukasi masyarakat terkait pengelolaan sampah,” kata Hijrah.
Materi yang diberikan itu berupa pemilahan sampah plastik. Masyarakat diberi tahu bahwa sampah plastik itu memiliki nilai jual. Dengan pemilahan yang benar, masyarakat bisa menjual sampah plastik yang mereka kumpulkan.
”Memilah sampah itu sulit. Biar nilainya lebih tinggi, kami menghargai sampah yang dikumpulkan itu per lembar. Syaratnya, harus rapi potongannya dan bersih dari sampah organik. Harga yang kami berikan Rp 10-Rp 70 per lembar. Jika sesuai kriteria, harganya akan mahal,” kata Hijrah.
Hijrah menyampaikan, untuk menambah efektivitas pengumpulan sampah plastik, dibentuk bank sampah. Saat ini, ada 350 kelompok yang menjadi nasabah dari bank sampah itu. Tiap kelompok bisa terdiri dari 60-80 orang.
”Nasabah semakin banyak. Sampah yang terkumpul juga semakin banyak. Sekarang, kami tidak hanya membuat produk sendiri, tetapi ikut menggandeng masyarakat. Lalu, kami pajang di toko kami,” kata Hijrah.
Produk buatan masyarakat itu tidak dibayar di akhir setelah produknya terjual. Hijrah membayar nilai kreasi masyarakat itu di awal agar minat mereka untuk mengelola sampah semakin tinggi. Model seperti itu membuat masyarakat termotivasi terus berkreasi dengan mendaur ulang sampah plastik karena tidak perlu kebingungan mencari pasar.
”Kami mengajarkan pula cara menghitung harga jual produk pada pembinaan yang kami lakukan. Menariknya, minat mereka untuk membuat kerajinan berbahan baku sampah plastik ini lumayan tinggi setelah mereka tahu bahwa ini dapat menghasilkan uang. Memang, jumlahnya tidak terlalu besar,tetapi ini hal positif,” kata Hijrah.
Produk buatan masyarakat itu tidak dibayar di akhir setelah produknya terjual. Hijrah membayar nilai kreasi masyarakat itu di awal agar minat mereka untuk mengelola sampah semakin tinggi.
Kini, variasi produk yang berhasil mereka buat antara lain berupa tas jinjing, tas ransel, dompet besar dan kecil, gantungan kunci, dan lain sebagainya. Total ada 145 jenis variasi produk. Harganya mulai dari Rp 6.000 hingga Rp 200.000. Pesanan yang masuk setiap bulan pun bisa mencapai 500-600 unit produk.
Ada produk yang bentuknya sudah sama sekali baru. Tak terlihat bahwa produk tersebut dibuat dari bahan baku sampah plastik daur ulang. Salah satunya adalah dompet koin. Pada produk itu, terdapat hiasan yang cukup artistik berupa sampah yang dipotong tipis sehingga tampak mengkilap dan berwarna-warni.
Hijrah mengungkapkan, cita-cita besarnya adalah mengajak orang untuk tidak seenaknya membuang sampah plastik yang sulit diuraikan. Ada baiknya masyarakat ikut mendaur ulang sampah jika memang hal tersebut bisa memberikan keuntungan. Baik dari segi lingkungan maupun ekonomi.
”Kami ingin masyarakat tahu sampah ini bisa dibuat apa saja. Tahu dulu setidaknya. Syukur-syukur ke depan bisa lebih baik. Lebih banyak masyarakat yang mengurangi limbah sampah plastik dari rumah tangga,” kata Hijrah.
Hal serupa dilakukan oleh tiga mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, yaitu Yusroni (19), Junita Solin (19), dan Novia Adisti Putri (20), melalui aplikasi bernama ”Plastic”. Aplikasi itu dikembangkan berdasar dari keresahan mereka melihat banyaknya sampah plastik yang mendegradasi kualitas lingkungan.
”Kami prihatin. Sampah sudah sedemikian banyak. Ide tentang aplikasi itu bermula dari beredarnya berita tentang ikan paus yang terdampar mati di Sulawesi Tenggar. Dari perut paus itu ada banyak sampah plastik yang keluar,” kata Yusroni.
Plastic merupakan sebuah aplikasi yang digunakan untuk jual-beli produk berbasis daur ulang sampah plastik. Ada beberapa jenis limbah daur ulang yang bisa dipasarkan lewat aplikasi tersebut, yaitu kaca, plastik, dan kayu. Saat ini, aplikasi itu belum sepenuhnya selesai. Masih ada pengembangan yang dilakukan dengan pembiayaan yang jumlahnya besar.
Namun, Plastic telah menorehkan prestasi di kancah internasional. Awal Februari, aplikasi itu diganjar medali perunggu oleh National Research Council of Thailand dalam Thailand Inventors Day 2019. Dalam ajang yang sama, aplikasi itu juga berhasil meraih Special Award dari World Invention Intellectual Property Associations (WIIPA).
”Kami berharap satu tahun atau dua tahun ke depan aplikasi ini sudah bisa diluncurkan. Ini memang butuh banyak dukungan buat mewujudkan ini semua,” kata Yusroni.
Yusroni mengharapkan, nantinya bakal ada semakin banyak orang yang sadar untuk peduli terhadap sampah. Salah satu cara meminimalkan volume sampah adalah dengan mendaur ulangnya. Harus ada keyakinan bahwa sampah itu memiliki nilai tambah sehingga tidak dibuang begitu saja lalu berakibat pada kerusakan lingkungan.
”Jangan menganggap bahwa sampah itu hal yang menjijikkan. Tetapi, bisa jadi wadah untuk mengembangkan kreativitas,” kata Yusroni.