CIREBON, KOMPAS - Dengan memiliki sekitar 17.000 pulau, 714 suku, dan 1.100 bahasa daerah, Indonesia menjadi model bagi dunia dalam menjaga dan mengelola keberagaman. Namun, keberagaman itu kini terancam oleh munculnya gejala eksklusivisme beragama. Jika keadaan ini dibiarkan, perpecahan membayangi bangsa Indonesia.
”Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain dalam hal menjaga keberagaman. Namun, bagaimana ke depannya?” tanya Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid dalam dialog kebangsaan seri III di Stasiun Kejaksan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (19/2/2019).
Turut hadir sebagai pembicara dalam acara ini Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan Mahfud MD, agamawan Romo Benny Susetyo, Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon Khaerul Wahidin, dan Patih Kanoman Pangeran Raja Mochammad Qodiran. Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati dan sejumlah tokoh lintas iman Cirebon juga hadir dalam acara itu.
Dialog kebangsaan ini merupakan bagian dari Jelajah Kebangsaan yang digelar Gerakan Suluh Kebangsaan bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Kegiatan itu berlangsung lima hari di sembilan stasiun mulai dari Merak, Banten, hingga Banyuwangi, Jawa Timur.
Jika kini kebinekaan tidak dirawat, menurut Alissa, nasib bangsa Indonesia akan seperti di Mindanao, Filipina, dan sejumlah negara di Timur Tengah. Daerah-daerah itu dinilai telah disusupi ekstremisme beragama hingga terjadi konflik bersenjata yang tidak kunjung usai.
Ekstremisme tersebut, lanjutnya, berawal dari eksklusivisme beragama yang ditandai adanya pendapat hanya kelompok agamanya yang benar. Di luar kelompoknya adalah salah. Mereka juga menutup diri terhadap kelompok lain. Kondisi itu tercermin di media sosial dengan maraknya ujaran kebencian antarkelompok meskipun keyakinannya sama.
”Gejala ini muncul di Indonesia. Sayangnya, sikap eksklusif itu dimanfaatkan politisi sebagai bahan bakar untuk memenangi kontestasi politik,” lanjut Alissa, yang juga Sekretaris Jenderal Gerakan Suluh Kebangsaan.
Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa diajak untuk tidak diam dan tidak membiarkan kondisi ini. ”Masyarakat jangan hanya berhenti pada kebutuhan yang penting bisa makan dan sehat. Jika membiarkan minoritas tertindas, bukan tidak mungkin hal yang sama akan menimpa kita,” ujar Alissa, yang datang dengan kursi roda.
Keadilan untuk semua
Mahfud menambahkan, menjelang Pemilu 2019 muncul ancaman terhadap rasa kebersamaan dan persatuan di Tanah Air. ”Padahal, kita semua bersaudara. Tuhan memerintahkan manusia menegakkan keadilan kepada manusia, apa pun agamanya, ras, dan warna kulitnya. Konsep ini sudah sesuai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Mahfud, siapa pun yang ingin mengganti NKRI dan Pancasila harus dilawan. Ini karena persatuan di tengah perbedaan yang telah dibangun pendiri bangsa dapat membawa Indonesia ke masa emas tahun 2045.
”Syaratnya, kita tetap bersatu,” ujarnya.
Kini, tantangan mewujudkan hal itu, menurut Benny, adalah maraknya ujaran kebencian dan hoaks yang dapat memecah belah bangsa. ”Saat ini, kebenaran ditentukan oleh persepsi yang berasal dari provokasi. Politisi yang menggunakan eksklusivisme agama sebagai bahan bakar nanti akan juga dibakar oleh hal itu,” tuturnya.
Terkait hal itu, Khaerul Wahidin mendorong pemerintah daerah turun tangan mencegah eksklusivisme beragama. ”Pemda seharusnya rutin bertemu dengan tokoh lintas iman, minimal sebulan sekali,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati mengatakan, Cirebon menjadi bukti bagaimana masyarakat yang berbeda agama dan suku bisa hidup berdampingan dengan damai. ”Berbagai etnis hidup di sini dalam keamanan,” ucapnya.