JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Inggris menandatangani nota kesepahaman dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya di Indonesia bagian timur. Selain untuk mencapai target bauran energi terbarukan, kerja sama ini juga diharapkan meningkatkan akses energi bagi masyarakat di daerah terpencil.
Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) itu berlangsung di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Rabu (20/2/2019). Indonesia diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial, sedangkan Inggris diwakili Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Lesté Moazzam Malik.
Ego mengatakan, dalam kerja sama ini, Inggris akan menyediakan infrastruktur energi terbarukan untuk skala kecil di Indonesia bagian timur. Kerja sama ini juga menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk belajar dan mentransfer teknologi dari Inggris.
”Kita ingin belajar dari Inggris bagaimana mereka sangat signifikan menurunkan porsi batubaranya (energi fosil) dalam 10 tahun terakhir,” kata Ego.
Ego menambahkan, kerja sama ini juga akan membantu percepatan target bauran energi terbarukan Indonesia. Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan sekitar 23 persen pada 2025. Sekarang, target bauran energi terbarukan Indonesia baru sekitar 12 persen.
”Nanti banyak juga proyek percontohan yang akan mendapat bantuan dari Inggris. Ini akan memperkuat kita dalam menuju era energi terbarukan,” ujarnya.
Moazzam menjelaskan, dalam kerja sama ini, Inggris akan memberikan bantuan senilai 15 juta poundsterling atau sekitar Rp 274 miliar (kurs Rp 18.284,14). Kerja sama dimulai pada Juni atau Juli 2019 dan berlangsung hingga tiga sampai empat tahun ke depan.
”Melalui program ini, kita fokus ke Indonesia timur. Tidak hanya untuk meningkatkan energi terbarukan, tetapi juga meningkatkan akses masyarakat terhadap energi sehingga bisa mengurangi kemiskinan di daerah terpencil,” ujarnya.
Moazzam menambahkan, pembangunan proyek percontohan pembangkit nantinya akan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di daerah. Beberapa teknologi yang bisa diterapkan, antara lain, pembangkit listrik tenaga angin, laut, surya, dan panas bumi. Proyek juga diharapkan bisa menarik investor untuk berinvestasi ke sektor energi terbarukan.
Regulasi
Ego mengatakan, Indonesia mau tidak mau harus beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan sembari mengurangi konsumsi energi fosil. Untuk itu, dalam dua tahun terakhir, pemerintah menyiapkan fondasi regulasi agar harga energi terbarukan lebih terjangkau.
”Semua regulasi sudah kami tata. Pemerintah juga menjamin investor aman, bisa mendapatkan proyek dalam waktu yang telah ditentukan,” ujarnya.
Moazzam mengatakan, hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Untuk bisa memanfaatkan potensi itu, sistem regulasi yang terbuka untuk para investor diperlukan.
”Salah satu jalur yang akan kami bangun melalui kerja sama ini adalah jalur dialog energi Indonesia-Inggris. Ini menjadi forum diskusi antara pembuat kebijakan kedua negara untuk saling belajar membuat sistem regulasi yang akan membuka jalurnya,” ujarnya.
Sosialisasi
Indonesia sudah memulai percepatan bauran energi terbarukan. Namun, beberapa proyek pembangunan menuai kritik dari organisasi masyarakat sipil. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Batang Toru, Sumatera Utara, misalnya, dikritik karena dianggap mengancam habitat orangutan tapanuli. Begitu pula dengan sejumlah proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di wilayah lainnya yang memicu konflik dengan masyarakat lokal.
”Awalnya memang terjadi hambatan (dalam proyek itu). Sekarang, halangan seperti itu sudah terselesaikan. Ujungnya, semuanya menyadari bahwa kita butuh listrik untuk pembangunan,” ujar Ego.
Ego mengatakan, pemerintah terus menyosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya beralih ke energi terbarukan dari energi fosil. Energi terbarukan sangat mengurangi polusi, berkelanjutan, dan harganya mulai terjangkau bagi masyarakat. (YOLA SASTRA)