Investor Global Tetap Waswas pada Negosiasi Dagang AS-China
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·2 menit baca
TOKYO, RABU — Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang belum juga reda tetap menjadi salah satu faktor utama penentu pilihan investasi para investor global. Negosiasi kedua pemerintahan berlanjut di Washington pekan ini. Muncul kabar bahwa AS mendesak China menjaga mata uang yuan agar stabil sebagai bagian dari negosiasi.
China bersedia mengurangi surplus perdagangan dengan AS dengan cara meningkatkan pembelian barang dan jasa secara signifikan. Hal itu terdengar seperti perkembangan positif, tetapi mungkin tidak cukup untuk mengakhiri ketegangan dagang. Topik penting dalam hal ini adalah kekayaan intelektual, paksaan transfer teknologi, dan subsidi China terhadap perusahaan domestiknya.
Semua topik itu dinilai relatif lebih rumit dari sekadar mengurangi defisit perdagangan. Tanpa perjanjian yang dapat dilaksanakan dengan baik, pasar tidak akan memberi respons positif. Apalagi, sebagaimana diberitakan Bloomberg, Washington juga mendesak Beijing untuk menjaga stabilitas pergerakan mata uang yuan.
”Sepertinya sengketa dagang ini masih jauh dari titik akhir. Komponen terpenting untuk mencapai kesepakatan adalah kepercayaan,” kata analis riset FXTM, Lukman Otunuga, dalam riset tertulisnya, Rabu (20/2/2019).
Menurut Lukman, nota kesepahaman tanpa ada mekanisme pelaksanaan dapat menyiratkan bahwa kesepakatan tersebut tidak kuat dan dapat buyar kapan saja. Skenario yang paling memungkinkan saat ini adalah perpanjangan batas waktu dari 1 Maret 2019 untuk memberi tambahan waktu negosiasi guna mencapai kesepakatan yang kuat. Washington sebelumnya mengancam akan menaikkan tarif impor produk-produk China dari 10 persen menjadi 25 persen.
Di tengah sentimen perang dagang, Rabu pagi, saham-saham di Asia naik terdorong sentimen pendapatan yang kuat yang telah membantu meningkatkan ekuitas Wall Street. Adapun sentimen negosiasi dagang AS-China mendorong penurunan imbal hasil surat utang. Mata uang dollar AS terdesak posisinya dari sejumlah mata uang di tengah kenaikan mata uang yuan.
Dari Indonesia, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan pada bulan Februari setelah menaikkannya enam kali dengan total kenaikan 175 basis poin pada tahun lalu. The Federal Reserve yang mengambil posisi ”sabar” dan ”fleksibel” telah memicu spekulasi penghentian kenaikan suku bunga AS tahun ini. Kondisi itu, menurut Lukman, dimungkinkan mendorong BI sedikit lebih lega untuk memangkas suku bunga di kemudian hari.
Secara umum, rupiah menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan terhadap dollar AS sejak awal tahun dengan kenaikan 2,04 persen. ”Rupiah berpotensi terus menguat apabila keadaan ekonomi Indonesia yang semakin baik mendongkrak selera pasar terhadap mata uang domestik ini,” kata Lukman. (AP)