Perayaan Cap Go Meh menjadi perayaan pamungkas dalam masa perayaan tahun baru Imlek. Di Banyuwangi, Jawa Timur, perayaan tersebut dikemas dalam gelaran festival yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival 2019.
Tahun ini merupakan tahun ketiga perayaan Cap Go Meh masuk dalam agenda festival tahunan Banyuwangi. Perayaan Cap Go Meh di Banyuwangi dipusatkan di Kelenteng Hoo Teng Bio, Banyuwangi, Selasa (19/2/2019).
Uniknya, perayaan Cap Go Meh dirayakan dengan balutan keberagaman yang sangat kental. Saat memasuki halaman Kelenteng Hoo Tong Bio, ratusan lampion merah sudah menyambut.
Di sela-sela lampion, berdiri dua janur melengkung. Lampion merah yang sangat khas dengan budaya Tionghoa bersanding dengan janur yang dihias menyerupai janur dalam upacara pernikahan dalam budaya Jawa.
Tak hanya itu, saat rangkaian acara hendak dimulai, sejumlah pemuda melantunkan shalawat untuk mengiringi pembagian santunan anak yatim. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Wakil Bupati Banyuwangi Yusuf Widiatmoko hadir dengan busana merah menyesuaikan nuansa Imlek. Yusuf bahkan tampil dengan busana cheongsam.
Ketua Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia Komisariat Jawa Timur Leman Kristanto dalam sambutannya menjelaskan makna Imlek dan Cap Go Meh di hadapan warga yang hadir. Ia juga menceritakan makna dari setiap masakan atau hidangan yang biasa disuguhkan saat perayaan Imlek.
”Biasanya disuguhkan mi yang melambangkan hidup yang panjang dan kekal. Sementara minuman yang disuguhkan biasanya wedang ronde atau yang dalam budaya Tionghoa disebut tangyuan,” ujarnya.
Namun, dalam perayaan Cap Go Meh, dua hidangan tersebut bukan jadi sajian utama. Panitia sudah menyediakan lontong Cap Go Meh untuk masyarakat yang hadir.
Tak tanggung-tanggung, panitia menyediakan 10.000 mangkuk lontong Cap Go Meh. Hal ini sengaja disediakan sekaligus sebagai upaya pemecahan rekor lontong Cap Go Meh terbanyak.
Leman mengatakan, lontong Cap Go Meh merupakan hidangan wajib saat perayaan Cap Go Meh bagi keturunan Tionghoa di Indonesia. Hidangan tersebut juga melambangkan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa.
”Lontong Cap Go Meh merupakan kolaborasi budaya dan kuliner. Hidangan ini menu asli Indonesia yang dikembangkan nenek moyang kami yang tinggal di pesisir pantura. Sayur rebung bersantan dengan lauk telur dan ayam tersebut dipadukan dengan makanan khas Jawa berupa lontong,” ujar Leman.
Hidangan tersebut disiapkan panitia di sejumlah tenda di luar kelenteng dan di halaman kelenteng. Siapa saja boleh mengambilnya. Apabila masih kurang, pengunjung boleh menambah sepuasnya.
Pengunjung tak perlu khawatir bahan makanan tersebut halal atau tidak. Panitia sudah memastikan seluruh makanan yang disuguhkan halal. Bahkan, beberapa petugas yang menyediakan makanan merupakan perempuan berjilbab.
Keberagaman juga tampak dari pengunjung yang hadir. Kendati Cap Go Meh dirayakan oleh etnis Tionghoa, tak sedikit pengunjung yang hadir justru etnis Jawa, Osing (suku asli Banyuwangi), Madura, bahkan wisatawan asing yang sedang berlibur di Banyuwangi.
Dalam Festival Cap Go Meh tersebut, pengunjung juga mendapat suguhan atraksi barongsai. Kali ini, atraksi tarian singa tersebut juga tak luput dari kolaborasi. Dua barongsai berwarna merah-emas dan putih-biru tersebut meliuk-liuk bersama dengan barong Osing yang menjadi bagian dari tradisi yang hidup di masyarakat tradisional Banyuwangi.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dalam sambutannya mengajak warga untuk bersyukur atas nikmat keberagaman yang kini dapat dirasakan. Ia juga mengajak warga untuk mendoakan almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
”Kita patut berterima kasih kepada Gus Dur. Beliau memiliki peran penting dalam perayaan Imlek di Indonesia. Dalam rangka menjaga kebinekaan, ia kembali mengizinkan Imlek dirayakan di Indonesia,” kata Anas.
Dalam kesempatan tersebut, Anas juga mendapat kesempatan menabuh genderang dan menerbangkan lampion sebagai tanda dimulainya festival serta lambang dipanjatkannya doa dan harapan. Anas berpesan agar perayaan keberagaman ini tidak hanya dilakukan malam itu saja.
Ia berharap sepulang dari festival, rasa bangga terhadap keberagaman terus hidup dan tumbuh di masyarakat Banyuwangi. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila juga dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.