JAKARTA, KOMPAS – Pemilu 2019 memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga memerlukan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS yang memahami tata laksana teknis pemungutan hingga penghitungan suara. Pelatihan dan pembekalan anggota KPPS secara serius menjadi kunci kelancaran seluruh proses pemilihan.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengakui, kompleksitas Pemilu 2019 tak hanya menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu tetapi juga peserta pemilu, dan pemilih. Pasalnya, mekanisme penyelenggaraan pemilu yang berbarengan antara pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden membuat banyak hal teknis di lapangan berubah. Salah satunya ialah adanya lima surat suara dan kotak suara yang berbeda saat pemungutan suara, yakni surat suara untuk memilih presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“Kompleksitas ini menjadi tantangan kita bersama, bukan hanya penyelenggara pemilu, karena faktanya memang untuk memberikan suara pasti memakan waktu yang lama, energi besar, dan kestabilan emosi yang panjang untuk menyelesaikan seluruh tahapan dan proses ini,” katanya, Selasa (19/2/2019) di kantor KPU, Jakarta.
Dengan kondisi itu, Arief mengatakan, kompleksitas itu tidak mungkin mampu diatasi oleh KPU sendiri. Persoalan ini juga menjadi tanggung jawab peserta pemilu, pemerintah, dan kalangan masyarakat sipil untuk memberikan bantuan. Peserta pemilu dan masyarakat sipil antara lain diharapkan ikut memberikan pendidikan kepada pemilih tentang mekanisme pemilu serentak tersebut, sehingga tidak terjadi kebingungan di lapangan.
Dari sisi penyelenggara, KPU akan mengadakan pelatihan intensif kepada anggota KPPS. Misalnya, tentang tata cara pengisian berbagai form dan mekanisme input data hasil penghitungan suara, serta hal-hal teknis lain menyangkut penanganan pemilih yang terdata dalam daftar pemilih tambahan (DPTb).
“Keinginan kami tentu melatih semua anggota KPPS seluruh Indonesia. Tetapi, saat ini ada 809.500 tempat pemugutan suara (TPS), yang bila dikalikan tujuh anggota KPPS, maka ada sedikitnya 7 juta orang yang harus kami latih. Tentu itu memerlukan biaya dan waktu yang tidak singkat,” kata Arief.
Direktur eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas mengatakan, pelatihan KPPS menjadi hal penting yang menentukan keberhasilan pemilu, karena merekalah yang secara langsung memfasilitasi pemungutan dan penghitungan suara. “(Kerja) KPPS ini hanya satu minggu, tetapi kinerja mereka menentukan hasil pemilu secara nasional. Oleh karenanya keterampilan dan pelatihan mereka sangat penting,” katanya.
Idealnya, semua anggota KPPS dilatih KPU. Namun, bila hal itu tidak memungkinkan, sebaiknya KPU membuat pedoman kerja yang mudah dan sederhana.
Idealnya, semua anggota KPPS dilatih KPU. Namun, bila hal itu tidak memungkinkan, sebaiknya KPU membuat pedoman kerja yang mudah dan sederhana.
“Sebaiknya dibuat semacam modul atau simulasi yang bisa dipelajari dan dibuka melalui handphone tentang tata laksana pemungutan dan penghitungan suara. Pedoman itu harus bisa sewaktu-waktu dirujuk oleh KPPS ketika mereka mengalami persoalan di lapangan,” kata Sigit.
Pelatihan KPPS sebaiknya dibarengkan dengan pengawas TPS. Harapannya agar tidak terjadi perbedaan persepsi antara KPPS dengan pengawas TPS dalam mengatasi hal-hal teknis di lapangan.