JAKARTA, KOMPAS — Berlangsungnya dua debat presidensial memberikan dampak signifikan bagi munculnya hoaks bernuansa politik terkait dengan pemilihan presiden pada Pemilu 2019. Kualitas berita bohong dianggap meningkat karena para pembuat hoaks telah memadukan antara foto atau video peristiwa nyata dan narasi yang bukan fakta.
Ketua Komite Pengecekan Fakta Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Aribowo Sasmito menjelaskan, setelah dua debat berlangsung, produksi hoaks yang berkaitan dengan debat itu memiliki tren serupa, yaitu pendukung setiap calon presiden berusaha mempertahankan pernyataan yang disampaikan di dalam debat. Alhasil, setiap pendukung capres menyajikan narasi untuk menyampaikan dukungan kepada tokoh yang didukung sekaligus untuk menjatuhkan tokoh lawan.
”Mau pernyataan itu betul atau salah, mereka (pendukung capres) selalu memberikan klarifikasi dari pernyataan itu melalui data atau sekadar memberikan koreksi. Intinya, mereka berupaya mempertahankan argumen ’jagoannya’,” ujar Aribowo, Rabu (20/2/2019), di Jakarta.
Aribowo menyebutkan, setelah debat presidensial kedua, muncul hoaks yang ditujukan kepada dua capres. Pertama, calon presiden Joko Widodo yang menggunakan alat bantu dengar selama memaparkan program kerja pada debat kedua. Kedua, Prabowo Subianto yang menggunakan kacamata Google Glass untuk mencontek jawaban pada debat tersebut.
Lebih lanjut, Aribowo menjelaskan, jelang masa krusial Pemilu 2019, hoaks bernuansa politik yang diproduksi mengalami kenaikan kualitas. Seiring masyarakat yang sudah paham foto atau video hasil edit, hoaks yang muncul telah menggunakan foto atau video dari sebuah peristiwa yang benar terjadi, tetapi ditambahkan narasi yang disinformasi.
Produksi hoaks itu, kata Aribowo, umumnya dilakukan dengan merekam sebuah video, lalu pembuat hoaks menambahkan pernyataan, baik lisan maupun tulisan, yang tidak sesuai dengan konteks dari video itu. Misalnya, hoaks terkait dengan protes pekerja di Morowali, Sulawesi Tengah, terhadap kehadiran pekerja asing, Januari lalu.
”Masyarakat masih bingung dan kesulitan untuk mengidentifikasi konteks narasi yang dipelintir. Oleh karena itu, kita harus lebih banyak belajar untuk memahami penyampaian fakta sesuai 5W+1H,” tutur Aribowo.
Makna hoaks
Sementara itu, Aribowo berharap para tim sukses kedua pasangan Pilpres 2019 tidak mudah menggunakan istilah hoaks yang ditujukan kepada lawan politik. Padahal, menurut dia, kategori hoaks hanya dapat dilabelkan pada berita atau informasi bohong yang dibuat seseorang, lalu disebarkan orang lain.
”Penggunaan terminologi hoaks harus hati-hati. Tidak bisa menyebut angka dan data yang keliru disampaikan dalam debat atau janji politik yang tidak ditepati sebagai hoaks,” ujar Aribowo.
Menurut juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, Jokowi telah menyebarkan 10 kabar bohong atau hoaks pada debat presidensial kedua, Minggu lalu. Hal itu berkaitan dengan kesalahan data yang disampaikan Jokowi, misalnya jumlah produksi sawit, total produksi beras, dan total impor jagung.
Menanggapi tuduhan itu, Ketua Harian Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Moeldoko, menjelaskan, cap Jokowi menyebarkan kebohongan adalah hal yang menyesatkan. Ia menekankan, Presiden Jokowi mengakui bahwa jelang lima tahun pemerintahan ada sesuatu yang telah dicapai, tetapi ada pula yang belum dicapai. Oleh karena itu, ia menekankan, Presiden Jokowi memiliki komitmen kuat untuk melakukan perbaikan dari waktu ke waktu, terutama melanjutkan program yang telah berjalan sekaligus menjalankan program yang belum dilaksanakan.