BEKASI, KOMPAS — Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi menjadwalkan uji coba kedua bagi pembangkit listrik tenaga sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sumur Batu. Percobaan itu dimulai pada Kamis (28/2/2019) selama 48 jam.
Pada uji coba pertama, 5-6 Februari 2019, pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dioperasikan 24 jam. Uji coba itu mampu menghasilkan listrik sebesar 1,5 megawatt. Jumlah sampah yang dimusnahkan adalah 3,3 ton per jam. Adapun suhu pembakaran mencapai 1.323 derajat celsius.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi mengatakan, durasi uji coba kedua dilipatgandakan dari uji coba pertama. PLTSa ditargetkan dapat memusnahkan 150 ton sampah per 24 jam dari uji coba pertama yang sebanyak 79,2 ton per 24 jam.
Adapun aspek yang diuji untuk uji coba kedua di antaranya kemampuan memusnahkan sampah dalam 24 jam dan keamanan kandungan gas buang agar benar-benar ramah lingkungan.
”Kami memerlukan uji coba satu kali lagi untuk menguatkan kesimpulan,” ujar Jumhana di Bekasi, Rabu (20/2/2019).
Kesimpulan itu akan menjadi dasar bagi Wali Kota Bekasi untuk mengirim surat rekomendasi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral agar menugaskan PT PLN membeli listrik hasil produksi PLTSa.
Sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, tanpa rekomendasi dan surat tugas tersebut, pengembang PLTSa sulit untuk mendapatkan kesepakatan pembelian energi (power purchase agreement/PPA). Tanpa PPA pula, PLTSa belum bisa dioperasikan secara resmi.
Selain itu, kata Jumhana, hasil pengujian kedua juga akan dijadikan penguat untuk menentukan keberlanjutan kerja sama dengan pengembang PLTSa, yaitu PT Nusa Wijaya Abadi (NWA). ”Jika memang terbukti belum memenuhi ketentuan, perjanjian kerja sama bisa kami batalkan,” katanya.
Ia menambahkan, perjanjian kerja sama dengan PT NWA sudah ditandatangani sejak 2016 dan berlaku selama 20 tahun. Pemerintah menantikan pembuktian dari pengembang bahwa teknologi tersebut bisa menjadi salah satu solusi permasalahan sampah.
Sebab, masalah sampah di Kota Bekasi tidak kunjung teratasi. Memasuki 2019, produksi sampah mencapai 1.900 ton per hari, naik dari dua tahun sebelumnya, yaitu 1.700 ton per hari.
Pemerintah menantikan pembuktian dari pengembang bahwa teknologi tersebut bisa menjadi salah satu solusi permasalahan sampah.
Menurut Jumhana, dari total 1.900 ton sampah, hanya 900 ton yang bisa diangkut ke TPA Sumur Batu setiap hari. Selain masalah kekurangan truk, luas TPA juga sudah tidak bisa menampung sampah. Padahal, area itu sudah diperluas dari 16 hektar (ha) menjadi 19 ha.
Pengolahan sampah di lingkup warga juga belum optimal. Dari sekitar 900 bank sampah yang didirikan di setiap RW, hanya ada 231 bank sampah yang aktif memilah sampah. ”Kami juga kekurangan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) karena warga menolak pendirian TPS di sekitar rumahnya,” ujarnya.
Akibatnya, sampah masih berceceran di beberapa lokasi. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup, terdapat 24 TPS liar yang tersebar di 12 kecamatan.
Presiden Direktur PT NWA Tenno Sujarwanto mengatakan, pihaknya siap menguji coba PLTSa selama 48 jam. Namun, dibutuhkan waktu sekitar seminggu untuk menyiapkan stok sampah sisa (refuse-derived fuel/RDF) yang digunakan sebagai bahan bakar PLTSa.
”Oleh karena itu, kami menunggu bantuan Dinas Lingkungan Hidup untuk mengirimkan ekskavator,” kata Tenno.
Adapun stok sampah itu diambil dari gunung sampah di zona I TPA Sumur Batu. Sebelum digunakan, sampah dipilah terlebih dulu antara yang organik dan anorganik. Saat ini, pemilahan masih dilakukan secara manual oleh sejumlah pekerja.
Uji coba juga membutuhkan biaya besar. Sekali operasi, dananya sekitar Rp 200 juta. Kami biayai sendiri, tidak menggunakan APBD.
Menurut dia, pengujian oleh pemerintah kota sebenarnya tidak ada dalam ketentuan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Pengujian semestinya dilakukan PT PLN setelah menerbitkan PPA. Dari pengujian tersebut, perusahaan akan mendapatkan sertifikat layak operasi.
Uji coba juga membutuhkan biaya besar. Dalam sekali operasi, perusahaan mengeluarkan uang sekitar Rp 200 juta. ”Seluruhnya kami biayai sendiri, tidak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),” kata Tenno.