Nilai ekspor udang pada 2021 ditargetkan 2,7 miliar dollar AS atau meningkat 58,8 persen dibandingkan dengan nilai ekspor 2018 yang sebesar 1,7 miliar dollar AS. Untuk bisa mencapai target kenaikan ekspor 1 miliar dollar AS itu, kebutuhan biaya investasi ditaksir 3-5 kali lipat.
Dari sisi produksi, untuk bisa mengejar target itu, produksi harus ditambah 150.000 ton.
Target itu sesungguhnya tidak muluk karena permintaan udang dunia terus meningkat hingga melampaui produksi. Permintaan udang dunia pada 2017 mencapai 6,9 juta ton, lebih tinggi dari 2011 yang sebanyak 6 juta ton. Sementara, pasokan udang dunia dari hasil budidaya dan tangkapan terus berkurang dalam 6 tahun terakhir, yakni dari 5,95 juta ton pada 2011 menjadi 4,485 juta ton pada 2017.
Organisasi Pangan Dunia (FAO), sebagaimana dikutip National Fisheries Institute, mencatat, produksi udang dunia hasil budidaya cenderung tetap pada periode 2017-2018, yakni sekitar 3,2 juta ton. Peluang memperluas pasar ekspor terbuka lebar.
Di tengah peluang bisnis dan ambisi menggenjot ekspor udang, sektor hulu masih terganjal masalah penyakit. Sejak tahun lalu, berbagai penyakit udang merebak di sejumlah sentra produksi. Penyakit udang itu antara lain penyakit kotoran putih (WFD), bintik putih (WSSV), myo (IMNV), dan sindrom kematian dini (EMS).
Berdasarkan data Shrimp Club Indonesia, penyakit kotoran putih dan myo menyerang hampir di seluruh daerah produsen udang, sedangkan bintik putih merebak di pantai utara Jawa. Hasil produksi per Januari 2019 turun hingga 40 persen dari pencapaian siklus sebelumnya, yakni Agustus-September 2018.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menganalisis, penyakit udang disebabkan antara lain ekstensifikasi tambak tanpa memerhatikan daya dukung lingkungan. Semakin intensif tambak, maka kepadatan tebar benur kian digenjot. Sementara, induk tidak bersertifikat dan benih berpenyakit.
Penyebab lain adalah penurunan kualitas air, pengelolaan tambak yang mengabaikan biosekuriti, serta instalasi pengelolaan air limbah yang tidak optimal sehingga limbah mencemari laut.
Tak dapat dipungkiri, sebagian pasokan benur nasional tergolong non-SPF (specific patogen free) sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ketahanan penyakit. Mutu benur yang rendah membuat udang mudah terserang penyakit. Apalagi, kepadatan tebar benur mulai tak terkendali demi menggenjot produksi.
Di tengah persoalan penyakit yang kian marak, pemerintah mendorong penambahan luas tambak hingga 5.000 hektar-6.000 hektar demi mencapai target kenaikan ekspor. Perluasan itu ditargetkan tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Lampung, dan Jawa.
Sementara itu, negara pesaing produsen udang seperti India mulai menata produksi untuk mengantisipasi penyakit. Pada tambak intensif, misalnya, kepadatan tebar hanya 70 ekor per meter persegi (m2). Dengan kepadatan yang rendah, serangan penyakit lebih terkendali.
Ambisi menggenjot produksi tanpa membenahi lini produksi dan penanganan penyakit udang ibarat “nafsu besar tenaga kurang”. Hal ini berpotensi menjadi bom waktu bagi kegagalan produksi dan kehancuran investasi.
Produksi udang, sebagai komoditas unggulan sektor perikanan, perlu dibina dan diawasi ketat. Dengan cara itu, penyebaran penyakit dapat diatasi. Inilah saatnya seluruh pemangku kepentingan bergegas menata kembali udang.
Tanpa upaya serius menangani penyakit, target produksi nasional dipastikan sulit tercapai. Apalagi, menggenjot ekspor. Gerak cepat dan nyata diperlukan. Sekarang, jangan ditunda lagi. (BM Lukita Grahadyarini)