JAKARTA, KOMPAS – Pemecatan terhadap 2.357 aparatur sipil negara terpidana korupsi berjalan lambat karena keengganan pejabat pembina kepegawaian atau PPK mengeluarkan surat pemberhentian. Agar tak berlarut-larut, pemerintah segera mengeluarkan dua aturan menteri terkait teknis pemecatan aparatur bermasalah itu serta sanksi bagi PPK yang tak taat.
Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana di Jakarta, Kamis (21/2/2019), mengatakan, keraguan PPK mengeluarkan surat pemberhentian disebabkan batas vonis ASN terpidana korupsi yang ditetapkan pengadilan sudah lewat. Selain itu, PPK juga takut dimintai ganti rugi karena selama ini ASN terpidana korupsi masih menerima gaji.
Oleh karena itu, lanjut Bima, aturan tegas akan dibuat terkait masalah teknis pemecatan agar PPK tidak kebingungan. Aturan itu berbentuk peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB).
"Akan ada follow up (tindak lanjut) berupa keputusan untuk penyelesaiannya. Masih dibuatkan drafnya. Sesegera mungkin selesai," ujar Bima.
Data BKN hingga 21 Februari 2019, dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, baru 572 orang yang diberhentikan tidak hormat. Masih ada 1.785 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan. Mayoritas ASN tersebut merupakan ASN di pemerintah daerah.
Target baru
Secara terpisah, Asisten Deputi Pembinaan Integritas dan Penegakan Disiplin Sumber Daya Manusia Aparatur Kemenpan RB Bambang Dayanto Sumarsono menambahkan, isi dari permenpan RB itu nantinya akan mencakup tiga hal, yakni pemecatan terhitung mulai tanggal surat keputusan, tidak adanya klausul ganti rugi gaji yang telah dibayarkan kepada ASN terpidana korupsi, serta tenggat waktu baru pemecatan, yakni 31 Maret 2019.
"Jadi, pemecatan itu tak harus per tanggal inkracht, saat ini saja. Artinya, tak berlaku surut. Tenggat waktu baru ini adalah peringatan kedua. Jika, PPK masih lalai, berati itu menjadi tanggung jawab mereka," ujar Bambang.
Sebagai catatan, pada pertengahan September 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersama Menpan RB Syafruddin serta Kepala BKN telah meneken surat keputusan bersama terkait pemecatan 2.357 ASN terpidana korupsi dengan batas waktu akhir 2018. Namun, hingga kini, pemecatan tersebut tak kunjung tuntas.
Bambang menyebutkan, apabila ASN terpidana korupsi tak kunjung dipecat sampai tenggat waktu yang telah ditentukan, maka PPK itu terancam dijatuhi sanksi.
"Artinya, dia akan berhadapan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Ada ancaman sanksi bagi kepala daerah yang melanggar sumpah," tutur Bambang.
Sanksi
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto membenarkan bahwa pihaknya sedang merumuskan aturan terkait sanksi bagi PPK yang tak taat itu. Aturan itu akan berbentuk Permendagri.
"Saat ini masih terus dibahas. Paling tidak, drafnya sudah jadi 60 persen," tutur Sigit.
Sigit menjelaskan, Permendagri tersebut berisi sistem pemecatan sekretaris daerah dan sanksi bagi PPK yang lalai. PPK meliputi kepala daerah, kepala lembaga, dan menteri.
"Bagi sekda akan ada tiga kali peringatan. Jika ASN itu belum dipecat juga, maka sekdanya akan kami pecat. Teguran berlaku bagi PPK yang akan dilakukan oleh Presiden dan Mendagri langsung," kata Sigit.