JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia berkomitmen menjaga daya tarik aset keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas aman. Untuk mendukung pembiayaan perbankan, optimalisasi operasi moneter dilakukan dengan teliti dan hati-hati agar kebutuhan likuiditas terpenuhi.
Hal tersebut menjadi alasan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), yang berlangsung 20-21 Februari 2019, memutuskan kembali mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6 persen. Selain itu, suku bunga deposit facility juga dipertahankan 5,25 persen. Adapun tingkat suku bunga lending facility juga tetap 6,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis (21/2/2019), mengatakan, kebijakan suku bunga acuan BI tahun ini akan terus mempertimbangkan stabilitas pasar keuangan domestik dalam menarik modal asing. Sikap ini sejalan dengan komitmen pemerintah menurunkan defisit transaksi berjalan.
”Kebijakan suku bunga acuan tetap fokus untuk stabilitas eksternal. Aturan makroprudensial akan dilonggarkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mendorong pembiayaan ekonomi,” kata Perry.
Kebijakan suku bunga acuan tetap fokus untuk stabilitas eksternal. Aturan makroprudensial akan dilonggarkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mendorong pembiayaan ekonomi.
Tingkat suku bunga acuan saat ini dinilai Perry masih cukup untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi dunia tengah melambat disertai berkurangnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Di samping itu, ekonomi AS tengah lesu karena dipengaruhi terbatasnya stimulus fiskal, permasalahan struktural tenaga kerja, dan menurunnya keyakinan pelaku usaha.
Meski demikian, BI tetap menjalankan operasi moneter untuk meningkatkan ketersediaan likuiditas dengan memperbanyak frekuensi dan volume term repo dan swap valuta asing. Sementara pelonggaran makroprudensial akan menyasar sektor pariwisata, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), serta sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
Tekan defisit
Selain menjaga daya tarik aset keuangan domestik, BI dan pemerintah memiliki tugas menurunkan defisit transaksi berjalan (CAD) hingga 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sepanjang tahun 2018, CAD tercatat 2,98 persen PDB.
Menurut Perry, penurunan defisit transaksi berjalan memerlukan komitmen yang kuat mengingat masih tingginya laju impor, termasuk impor untuk memenuhi permintaan minyak dan gas.
”Penurunan impor harus dilakukan sejalan dengan meningkatkan kinerja ekspor. Karena itu, pelonggaran kebijakan makroprudensial juga akan menyasar motor-motor pendorong ekspor,” ujarnya.
Aliran modal asing yang masuk ke Indonesia akan ditargetkan cukup untuk menutup lubang defisit transaksi berjalan agar penyaluran pembiayaan dapat terpenuhi. Melihat peluang ini, Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 akan berkisar 5-5,4 persen, setelah pada 2018 ekonomi tumbuh 5,17 persen.
”Penurunan impor harus dilakukan sejalan dengan meningkatkan kinerja ekspor. Karena itu, pelonggaran kebijakan makroprudensial juga akan menyasar motor-motor pendorong ekspor,” ujar Perry.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Wisnu Wardana memperkirakan, BI baru akan melakukan penyesuaian suku bunga pada triwulan III-2018 untuk merespons ekspektasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed, sebanyak dua kali.
”BI menekankan kondisi eksternal menjadi arah dalam menentukan kebijakan. Karena Indonesia mengalami defisit neraca dasar berturut-turut sejak triwulan IV-2017, tinjauan dan pemanfaatan potensi untuk menghasilkan surplus ke depannya perlu dilakukan,” kata Wisnu.
Wisnu menilai, sepanjang tahun ini likuiditas mengetat akibat perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan khususnya deposito. Dia memperkirakan angka pertumbuhan DPK hanya berkisar 8-9 persen pada tahun ini.
Ekonom Asian Development Bank Institute Eric A Sugandi menilai, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan sudah tepat untuk menahan peningkatan impor. Pasalnya, jika rupiah menguat akibat derasnya aliran modal asing masuk, harga impor bisa menurun dan memicu meningkatnya volume impor.
”Kenaikan suku bunga acuan BI mungkin dapat menambah daya tarik arus modal asing masuk sehingga memicu surplus neraca modal dan finansial. Namun, kenaikan suku bunga acuan BI tidak bisa mengatasi masalah defisit transaksi neraca berjalan,” ujarnya.