BEKASI, KOMPAS — Di tengah perkara korupsinya masih disidangkan, Bupati Bekasi (nonaktif) Neneng Hasanah Yasin mengirimkan surat pengunduran diri kepada Ketua DPRD Kabupaten Bekasi. Kini, DPRD tengah menyiapkan langkah untuk menindaklanjuti permohonan itu.
Ketua DPRD Kabupaten Bekasi Sunandar, di Bekasi, Kamis (21/2/2019), mengatakan, surat pengunduran diri itu dia terima pada 14 Februari 2019. Surat itu dibubuhi tanda tangan asli Neneng.
Selain ditujukan kepada DPRD, Neneng juga mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai Bupati Bekasi kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Surat itu turut dilampirkan bersama surat pengajuan pengunduran dirinya ke DPRD, tetapi dalam bentuk salinan.
”Alasan pengunduran diri yang tertulis di surat itu saya agak lupa karena sekarang sudah diarsipkan di bagian Sekretariat DPRD,” ujar Sunandar.
Neneng ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi atas keterlibatan pada suap proses perizinan proyek Meikarta pada Oktober 2018. Selain dirinya, empat kepala dinas di Pemerintah Kabupaten Bekasi juga ditangkap terkait dengan kasus yang sama dan mereka telah ditetapkan sebagai tersangka.
Hingga saat ini Neneng dan empat kepala dinas itu masih menjalani sejumlah persidangan berkaitan dengan perkara korupsi yang melibatkan mereka. Belum ada satu pun dari mereka yang memperoleh vonis ataupun kekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 78 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan atas tiga penyebab. Penyebab itu ialah meninggal, permintaan sendiri, dan diberhentikan.
Adapun mekanisme pemberhentian kepala daerah diatur dalam Pasal 79 UU No 23/2014. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa pemberhentian kepala daerah diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada menteri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk bupati untuk mendapatkan penetapan pemberhentian.
”Namun, kami belum menetapkan waktu untuk mengadakan rapat paripurna,” ujar Sunandar.
Tidak adanya pengalaman pemberhentian kepala daerah mendorong Sunandar mengambil langkah lebih hati-hati. Menurut rencana, pekan depan pihaknya akan berkonsultasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan, mekanisme pemberhentian Bupati Bekasi dilakukan sesuai regulasi. Itu serupa dengan yang dilakukan terhadap Bupati Indramayu Anna Sophanah yang mengundurkan diri pada November 2018.
Ia mengemukakan, DPRD perlu menggelar rapat paripurna untuk mengumumkan pengunduran diri Neneng. Hasilnya dilaporkan kepada Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bekasi untuk disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Barat agar mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri. ”Setelah itu, menteri akan menerbitkan surat keputusan pemberhentian Bupati Neneng,” kata Sumarsono.
Sumarsono menambahkan, proses itu dilanjutkan dengan pengusulan plt bupati sekaligus memberhentikan wakil bupati untuk diangkat menjadi bupati definitif. Pengusulan itu juga harus melalui rapat paripurna yang hasilnya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Barat. ”Jika surat keputusan menteri sudah terbit, bupati definitif akan dilantik oleh gubernur,” katanya.
Sementara itu, partai politik pengusung kepala dan wakil kepala daerah berhak mengajukan dua calon wakil bupati untuk dipilih oleh DPRD. Keputusan mengenai wakil bupati yang terpilih disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui bupati dan gubernur untuk disahkan menteri. Selanjutnya, wakil bupati dilantik setelah surat keputusan menteri terbit.
Segera
Meski masih harus berkonsultasi, Sunandar ingin proses pemberhentian serta pengangkatan bupati definitif dan wakil bupati berlangsung segera. Sebab, kewenangan Plt Bupati Bekasi terbatas sehingga akan berpengaruh terhadap penyerapan anggaran dan melambatnya pembangunan di Kabupaten Bekasi. Hal itu terutama pada pembangunan infrastruktur vital seperti jalan dan sekolah.
Sejumlah proses pemerintahan, lanjut Sunandar, juga tidak bisa dilakukan sehingga berpotensi mengganggu pelayanan publik. ”Sampai saat ini masih ada kekosongan jabatan di beberapa satuan kerja perangkat daerah,” kata Sunandar.
Menurut Sumarsono, plt bupati memang tidak bisa serta-merta mengeluarkan kebijakan strategis, seperti mutasi dan promosi jabatan serta kerja sama yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Seluruh kebijakan itu harus mendapatkan izin tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Kewenangan penuh baru diperoleh plt bupati jika sudah dilantik menjadi bupati definitif.