Internalisasi Nilai Pancasila pada Generasi Milenial
Oleh
Hamzirwan Hamid
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi milenial, khususnya pelajar sebagai calon pemimpin bangsa, juga punya tugas untuk merawat kebinekaan dan demokrasi. Oleh karena itu, pemerintah melalui program bela negara terus berupaya mengakarkan atau menguatkan lagi nilai-nilai Pancasila dalam jiwa generasi milenial Indonesia di tengah ancaman radikalisme ataupun intoleransi.
Program bela negara Kementerian Pertahanan merupakan bentuk revolusi mental untuk membangun daya tangkal bangsa dalam menghadapi kompleksitas dinamika ancaman sekaligus mewujudkan ketahanan nasional. Bela negara bisa diaktualisasikan dalam semua peran dan profesi warga negara Indonesia.
Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Bondan Tiara Sofyan dalam Dialog Kebangsaan ”Bela Negeriku untuk Indonesia Damai” di Auditorium Universitas Tarumanagara, Jakarta, Kamis (21/2/2019), mengatakan, Indonesia punya ancaman nyata dan belum nyata. Ancaman belum nyata ialah invasi militer, sedangkan ancaman nyata adalah radikalisme, intoleransi, narkoba, terorisme, dan lainnya.
”Pelajar sebagai agen perubahan dan calon pemimpin bangsa harus dipastikan siap memimpin dengan semangat bela negara berdasarkan Pancasila. Pemerintah berupaya mengakarkan lagi Pancasila karena marak ’pencucian otak’ untuk mengadu domba serta merusak ideologi bangsa yang menyasar pelajar,” ucap Tiara.
Upaya pemerintah mengakarkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial sejalan dengan meningkatnya paham radikal di kalangan pelajar. Survei Alvara Research Center pada akhir Oktober 2017 menunjukkan, sebanyak 23,4 persen mahasiswa setuju melakukan jihad untuk tegaknya khilafah di Indonesia. Lalu, 17,8 persen mahasiswa menganggap bentuk pemerintahan khilafah lebih baik dibandingkan dengan NKRI. Survei itu dilakukan kepada 1.800 mahasiswa dari 25 universitas unggulan di Indonesia.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, juga menguak ada opini radikal dan intoleran yang cukup tinggi di kalangan siswa dan mahasiswa. Sebanyak 51 persen siswa dan mahasiswa memiliki opini tidak toleran, lalu 58,5 persen memiliki opini radikal. Hal itu merujuk pada survei terhadap 1.522 siswa dan 337 mahasiswa di 34 provinsi pada September-Oktober 2017.
Tiara menyebutkan, bela negara telah dimasukkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Juga dijalin kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk terus memantau situs, konten, media sosial yang bermuatan negatif, seperti paham radikal, provokasi suku, agama, dan ras, serta pornografi. Komunitas-komunitas masyarakat turut digerakkan, contohnya Komunitas Anak Indonesia Juara dan Bela Negara Indonesia.
”Menjaring dari pusat ke daerah, terutama ke daerah perbatasan, bekerja sama dengan Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik melalui forum bela negara yang bergerak dan berjejaring di kampus, sekolah, dan berbagai elemen masyarakat,” katanya.
Selain itu, juga dilakukan pelatihan kader bela negara, kerja sama dengan media massa, dan penyesuaian dengan perkembangan zaman. ”Ada komik, buku saku, dan lagu-lagu. Komik disesuaikan dengan jenjang pendidikan, seperti komik berwarna, bergambar pulau-pulau untuk pendidikan usia dini. Buku dan komik disebarkan ke sekolah dan diunggah ke situs atau laman kementerian. Tahun lalu dibuat lomba vlog dan meme bertema bela negara ala saya. Semua media akan dicoba,” ucapnya.
Sehatkan dunia maya
Banyak potensi perpecahan yang mengancam Indonesia. Perkembangan radikalisme yang didistribusikan melalui media sosial dan layar kaca menampilkan pernyataan bernada negatif serta menyerang simpul-simpul suku, agama, dan ras.
Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika R Niken Widiastuti menjelaskan, radikalisme, terorisme, hoaks, dan lainnya didistribusikan melalui media sosial. Sebanyak 54 persen pengguna internet menghabiskan waktu untuk percakapan (chatting) dan menyebarkan informasi.
”Sehatkan dunia maya Indonesia. Tidak semua informasi di internet atau media sosial itu benar. Perbanyak promosi dan hiburan yang mengedukasi,” ucapnya. Kementerian Kominfo juga telah menutup sedikitnya 790.000 situs, konten, dan akun yang bermuatan radikal dan negatif hingga akhir Desember 2018.
Rektor Universitas Tarumanagara Agustinus Purna Irawan menambahkan, perlu membangun kesadaran bahwa Indonesia harus dibangun bersama karena dimiliki oleh semua anak bangsa.
”Jakarta dihuni 13 juta orang pada pagi hari dan 10 juta orang pada malam hari. Semuanya aset dan miniatur Indonesia karena berasal dari berbagai suku dan etnis. Kenyamanan tinggal di Jakarta sangat penting,” kata Pelaksana Tugas Kepala Kesbangpol DKI Jakarta Taufan Bakri.
Merawat kebinekaan
Dialog tersebut diikuti ratusan pelajar, baik mahasiswa maupun siswa sekolah menengah atas. Mereka punya pandangan dan cara tentang bela negara.
Angga Mardiana, siswa SMKN 19, menunjukkan semangat bela negara dengan giat belajar untuk berprestasi serta mengikuti upacara bendera.
Lain halnya dengan Nur Ilham Segara, siswa SMK 19 Jakarta. Ini pengalaman pertamanya mengikuti kegiatan bela negara. Harapannya, dapat memahami dan menambah wawasan.
”Ingin negara lebih baik dan semakin cinta Tanah Air. Kegiatan yang menarik untuk menumbuhkembangkan cara mempertahankan keutuhan NKRI. Kalau bisa, diperbanyak sosialisasi, baik melalui media sosial, video, maupun lainnya,” katanya.
Chandra, mahasiswa Teknik Sipil Universitas Tarumanagara, menyebutkan, penting mengetahui lagu kebangsaan, menghafal pancasila dan sumpah pemuda. Di kampus ada festival kebudayaan yang dapat dimanfaatkan untuk menarik orang mengenal budaya Indonesia. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)