JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat belum menyadari pentingnya pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) non-industri. Pengelolaannya juga terkendala biaya pengangkutan yang tinggi karena lokasinya tersebar di sejumlah tempat. Dibutuhkan inovasi layanan mengatasi kebuntuan itu.
”Masih banyak yang menganggap limbah B3 itu hanya diproduksi sektor industri. Padahal, hampir semua jenis aktivitas keseharian masyarakat menghasilkan limbah B3,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rosa Ambarsari, Kamis (21/2/2019), di Jakarta.
Aktivitas di lingkungan rumah, sekolah, fasilitas kesehatan, perkantoran, dan mal berperan menghasilkan limbah B3. Jenis limbah B3 yang dihasilkan dari sejumlah lingkungan tersebut di antaranya limbah alat elektronik, lampu bekas, baterai, aki, kemasan tinta, dan cairan pelumas mesin.
Benda-benda itu digolongkan sebagai limbah B3 karena di dalamnya terdapat kandungan timbal, merkuri, arsenik, dan sejumlah zat berbahaya lainnya. Tanpa disadari, limbah B3 itu sering tercampur dan diperlakukan sama dengan jenis sampah lainnya.
Menurut Rosa, selama ini usaha pengelolaan limbah B3 di sektor non-industri belum berjalan karena terkendala biaya operasi yang terlampau tinggi. ”Padahal, limbah B3 harus dikelola dengan cara yang berbeda, tergantung dari jenisnya,” katanya.
Direktur Utama PT Arah Environmental Indonesia Gufron Mahmud menjelaskan, pihak ketiga lebih mudah membantu pengelolaan limbah B3 di sektor industri karena jumlah limbah B3 yang dihasilkan selalu dalam jumlah besar dan lokasi pembuangannya terpusat. Biaya yang dikeluarkan pihak ketiga pun menjadi efisien karena jalur distribusinya pendek.
Hal serupa sulit diterapkan di sektor non-industri karena jumlah limbah B3 yang dihasilkan sedikit dibandingkan dengan yang dihasilkan industri. Selain itu, titik pengumpulannya juga tersebar sehingga memakan biaya pengangkutan lebih besar dibandingkan dengan limbah industri yang lebih terpusat di satu tempat.
”Biayanya lebih besar karena tempat (pengumpulannya) tersebar. Sementara jumlah limbahnya jauh lebih sedikit (dibandingkan dengan limbah industri),” kata Gufron.
Inovasi layanan
Sementara hingga saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sarana pengolahan limbah B3. Selama ini, yang mampu dilakukan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta hanya sebatas memilah dan mengumpulkan limbah B3 di level kecamatan. Oleh karena itu, inovasi layanan dari pihak ketiga dibutuhkan untuk menyelesaikan kebuntuan tersebut.
Untuk menjawab kebutuhan pengolahan limbah B3 dari domestik atau rumah tangga itu, Gufron menyampaikan, kini pihaknya mulai mengolah limbah B3 dari sektor non-industri. Pihaknya pun telah merancang layanan Ecofren untuk memberi kemudahan bagi masyarakat yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.
”Layanan pengelolaan limbah B3 PT Arah Environmental Indonesia kini sudah merambah ke level sektor non-industri dan instansi kecil,” ujar Gufron.
Layanan Ecofren bisa diterapkan di tempat orang banyak berkumpul, misalnya sekolah, fasilitas kesehatan, perkantoran, ataupun mal. Di tempat itu nantinya akan disediakan tempat khusus untuk mengumpulkan limbah B3 yang akan diambil petugas secara bertahap tergantung dari kebutuhan pelanggan.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga berusaha memperbanyak lokasi penyimpanan sementara limbah B3. Keenam titik itu adalah Kecamatan Duren Sawit, Kecamatan Kebon Jeruk, Kecamatan Lenteng Agung, Kecamatan Cempaka Putih, Kecamatang Cengkareng, dan kantor Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta di Jakarta Timur.
Keenam lokasi itu dapat menampung limbah B3 dari rumah warga. Kemudian limbah itu nantinya diambil pihak ketiga untuk diolah lebih lanjut. ”Rencananya, setiap kecamatan di Jakarta akan dibuatkan satu lokasi penampungan sementara limbah B3,” ujar Rosa. (PANDU WIYOGA)