Liputan Gunung Meletus, Dikira Pengungsi
Risiko menjadi jurnalis. Saat bencana terjadi, orang lain menjauh, jurnalis justru mendekat. Bukan untuk sok-sokan, apalagi gaya-gayaan. Tugas untuk melaporkan kejadian menjadi panggilan. Tentu saja, semua dikerjakan dalam batas hitungan aman.
Beberapa gunung di Nusantara yang belakangan kembali menunjukkan aktivitas vulkanis, seperti Gunung Merapi dan Gunung Karangetang, mengingatkan saya pada pengalaman meliput letusan Gunung Kelud. Sebagai jurnalis, segala peristiwa tidak boleh luput dari pantauan, termasuk kejadian bencana alam. Bukan untuk keren-kerenan, melainkan sebagai bagian upaya mitigasi bencana melalui berita yang tak lelah kami kabarkan.
Lima tahun lalu, tepatnya 13 Februari 2014 pukul 22.50, Gunung Kelud di Jawa Timur meletus. Saya ingin berbagi pengalaman liputan pada lima tahun lalu itu.
Terkait dengan letusan Gunung Kelud, teman saya yang bertugas meliput wilayah Kediri ditugaskan untuk bersiaga di Kediri-Blitar memantau jika tiba-tiba Kelud meletus. Saya sendiri berjaga di Malang.
Semua orang memprediksi, sebagaimana letusan Kelud sebelumnya pada 1990-an, dampak terbesar akan dialami warga Kabupaten Blitar dan Kediri. Adapun Malang hanya akan terkena dampak abu tidak terlalu parah. Namun, meliput gunung meletus memang tidak semudah bayangan.
Persiapan
Kamis (13/2/2014) malam itu, saya sedang tidur-tiduran di depan televisi sambil memantau kemungkinan letusan. Sekitar pukul 22.50, grup wartawan dan grup kantor mulai ramai informasi Kelud meletus.
Meski lokasi dampak letusan Kelud diduga paling parah di Kediri dan Blitar, jurnalis di Malang tentu tidak bisa tinggal diam. Panggilan jurnalistik membuat kami harus memantau kondisi terkini di Ngantang.
Rekan jurnalis televisi pun mulai berkoordinasi untuk berangkat ke Ngantang malam itu juga. Hal itu dapat dimaklumi karena televisi butuh video situasi terkini. Mereka pun berangkat berkelompok karena mengandalkan lighting yang tidak semua wartawan punya.
Saya, sebagai wartawan media cetak, saat itu berpikir. Hari sudah sangat gelap dan tidak mungkin berangkat ke Ngantang yang berjarak lebih kurang 50 kilometer (km) dari Kota Malang dengan tergesa-gesa tanpa rencana. Toh, kalau ke sana malam itu, saya hanya akan mendapatkan gambar gelap.
Kalau saya memaksakan diri berangkat malam itu, bisa jadi saya malah akan keleleran (tidak terurus karena tidak bertemu narasumber siapa pun selain warga). Saya berpikir malam itu saya harus istirahat cukup karena bisa jadi liputan bencana seperti itu butuh berhari-hari dan butuh stamina kuat. Saya juga mengisi catu daya semua keperluan elektronik, seperti baterai kamera, laptop, dan ponsel.
Saat itu, harian Kompas masih belum memiliki platform daring Kompas.id. Saya hanya bertugas menyetor berita untuk edisi cetak pagi dan Kompas Update yang terbit siang.
Meski waswas ketinggalan berita dari wartawan lain, malam itu saya tidur sambil meyakinkan diri bahwa besok saya akan membalas ”ketertinggalan” dengan liputan yang lebih baik. Saya menjadi lega saat sahabat saya yang juga jurnalis menanyakan kapan saya akan berangkat ke Ngantang. Kami pun bersepakat berangkat Jumat (14/2/2014) pagi dengan berboncengan sepeda motor. Alasannya, motor adalah sarana transportasi yang paling gampang dan tidak terjebak kemacetan.
Baca juga:
Belajar Langsung dari Marc Marquez
Balon Wonosobo Membawa Saya ke London
Jumat pagi masih gelap, kami berangkat ke Ngantang. Di kawasan Payung, Kota Batu, kami berpapasan dengan satu keluarga berboncengan motor. Wajah dan tubuh mereka lusuh penuh debu. Kami bertanya dalam hati, apa debu Kelud sampai separah itu dirasakan di Ngantang? Kedua kali, kami berpapasan dengan orang dengan kondisi sama. Beberapa orang naik mobil pikap bersama-sama menuju arah Kota Batu. Kondisinya penuh debu dari kepala hingga kaki.
Kami nyaris berbalik arah dan mengejar mobil pikap tersebut. Saya berpikir, saya belum mendapat satu foto pun terkait dampak letusan Kelud. Namun, niat itu kami urungkan, dengan perkiraan jika kondisi korban yang mengungsi separah itu, di lokasi kejadian pasti lebih parah lagi.
Sekitar 30 km berkendara, kami mencapai posko pengungsian di Kecamatan Pujon. Terlihat riuh orang dan wartawan berlalu lalang. Saya berpikir, jika berhenti di posko, berita saya akan sama saja dengan wartawan lain yang sudah datang semalam. Setelah diskusi dengan teman seperjalanan saya, kami memutuskan meneruskan perjalanan 20 km lagi menuju Bendungan Selorejo, Ngantang, yang semula disiapkan sebagai posko pengungsian. Saya berasumsi, jika posko pengungsian digeser 20 km hingga ke Kecamatan Pujon, artinya di sana kondisinya bisa jadi lebih parah.
Dalam perjalanan menuju Ngantang, kami menyempatkan berhenti di beberapa tempat untuk mengabadikan momen terkait letusan Kelud. Misalnya, anak sekolah dipulangkan dari sekolah dan kondisi pengungsian di balai desa di kawasan Pujon. Berbekal beberapa foto dan hasil wawancara, kami pun melanjutkan perjalanan ke Bendungan Selorejo.
Mendorong motor
Namun, mendekati jalan menuju Bendungan Selorejo, jalan mulai sulit dilalui. Pasir dan debu vulkanik Gunung Kelud setebal 30 sentimeter menutupi jalan raya. Pasir vulkanik itu licin sehingga banyak pengguna motor terjatuh. Motor yang kami naiki harus didorong beberapa kali untuk keluar dari jebakan pasir padat.
Di Kecamatan Ngantang, bahkan jarak pandang terbatas hanya 5 meter karena debu beterbangan ditiup angin. Selain itu, hujan pasir dan debu masih cukup tebal menyelimuti langit Ngantang. Yang bisa menembus jalur Ngantang hanya kendaraan pengangkut pengungsi. Adapun pengendara roda empat dan roda dua jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Rasanya pengendara motor arah Malang-Kediri saat itu hanya kami saja. Pengendara motor lainnya berlawanan arah dengan kami.
Menjelang gerbang masuk Bendungan Selorejo, kami menemukan titik berkumpul pengungsi yang menanti jemputan. Banyak orang menyelamatkan diri dengan dibantu beberapa polisi, TNI, dan sukarelawan. Waktu itu sekitar pukul 07.00 dan langit masih gelap. Gelap karena langit tertutup debu vulkanik dan terus terjadi hujan pasir.
Setelah merasa cukup mengambil gambar dan wawancara, kami melanjutkan perjalanan. Kami memilih belok ke kiri ke arah Blitar karena menduga jalur ke Blitar mungkin kondisinya lebih parah. Namun, setelah bermotor beberapa lama, kami tidak mendapati dampak cukup parah. Tidak banyak abu dan pasir di rumah warga. Kami pun memilih balik kanan dan memutuskan bergerak ke arah Bendungan Selorejo.
Mendekati bendungan sulitnya minta ampun. Motor harus terpeleset berkali-kali karena jalan licin dan susah dilalui. Timbunan pasir dan debu mungkin di atas 30 cm. Tekad kami sejak awal adalah mengetahui kondisi desa yang semula dinilai aman dan akan dijadikan lokasi pengungsian, tetapi justru saat itu harus ditinggalkan karena terkena dampak parah.
Entah berapa lama kami berjuang keras menembus pasir dan debu vulkanik di jalanan, tibalah kami di jalur utama bendungan. Kondisinya memprihatinkan karena air waduk tampak terguyur pasir dan debu. Sepanjang mata memandang, semua berwarna abu-abu tertutup pasir. Debu beterbangan tak keruan. Di ujung jembatan, arah jalan turun menuju perkampungan, banyak berdiri polisi dan tentara. Proses evakuasi warga Dusun Sedawun, Klangon, dan beberapa dusun sekitarnya rupanya tengah dilakukan.
Kami tidak mungkin bermotor turun ke arah dusun-dusun tersebut. Ketebalan pasir tidak lagi bisa dilalui karena tingginya setengah badan motor. Kami bertekad ikut masuk ke dusun dengan naik truk Kostrad.
Dari bawah arah dusun, saya lihat beberapa wartawan koran lokal naik trail. Saat saya tanya kondisi di sana seperti apa. Mereka mengatakan kondisi di sana sepi, tidak ada apa-apa lagi. Mereka pun pergi dengan cepat naik trail meninggalkan kami. Trail jadi alat transportasi yang memudahkan untuk menembus medan seperti itu.
Meski dikatakan kondisi perkampungan di bawah bendungan sudah sepi, entah kenapa hati nurani saya berkata lain. Secepat itukah evakuasi dilakukan, pikir saya saat itu. Tidak lama, sebuah mobil jip dengan kaca pecah mengangkut beberapa orang dari dusun bawah. Ia adalah warga dusun yang berinisiatif membantu tetangganya mengungsi. ”Di sana masih banyak orang. Belum bisa mengungsi,” katanya kepada anggota TNI yang ada di samping saya.
Evakuasi
Nah, benar saja. Masih banyak orang belum mengungsi. ”Ayo, Bapak antarkan kami ke sana. Kami tidak tahu jalan,” kata seorang anggota Kostrad kepada bapak pemberi informasi tadi. TNI, Brimob, dan Basarnas saat itu berbagi tugas. Kostrad bertugas menjemput pengungsi, sedangkan Brimob bersiaga di atas, yakni di jalur utama bendungan dengan tugas meneruskan kerja evakuasi dengan mengantar warga sampai ke lokasi pengungsian.
Saya dan teman saya bertekad ikut mengabadikan proses evakuasi dan bergabung dengan personel Kostrad naik truk mereka. Truk berpenggerak empat roda itu, meski pelan, akhirnya mampu menembus timbunan pasir dan sampai di perkampungan. Adapun motor kami letakkan begitu saja di pinggir jalan. Kami berpikir, orang yang mau mencurinya pasti butuh usaha keras karena jalanan tidak mudah dilalui.
Setibanya di Dusun Klangon, Desa Pandansari, kami melihat masih banyak warga tidak bisa mengungsi karena belum ada angkutan. Sebagian lagi merasa enggan mengungsi karena menilai bencana saat itu akan segera usai. Bersama personel Kostrad, kami turut membujuk warga untuk mengungsi. Rata-rata warga mengkhawatirkan kondisi ternak mereka jika ditinggal mengungsi.
Setelah diyakinkan bahwa untuk sementara mereka harus pindah ke tempat aman, apalagi saat itu masih terdengar suara gemuruh dari arah Gunung Kelud, mereka mulai mau diajak mengungsi.
Masalah muncul karena truk untuk mengangkut pengungsi hanya satu. Dua truk lain masih dalam perjalanan menembus pasir.
TNI memutuskan mengangkut para orang tua dan anak-anak terlebih dulu. Saya dan teman saya bersama personel Kostrad lain memilih menanti jemputan berikutnya.
Sambil menanti jemputan, saya memilih mengirim foto dan berita. Saat itu saya tidak tahu jam berapa, tetapi hati saya memanggil untuk segera mengirim dampak letusan Kelud yang rupanya sangat parah di wilayah Malang. Ratusan rumah rusak akibat hujan debu dan bebatuan. Kecamatan Ngantang dan Kasembon terdiri atas 11 desa. Jumlah warga di sana diperkirakan lebih dari 40.000 jiwa.
Saya memilih berteduh dari hujan pasir di teras sebuah rumah. Saya memilih sebuah rumah dengan teras cor yang kemungkinan cukup kuat menahan hujan pasir. Saya tentu tidak bisa mengetik dan kirim berita di tengah hujan pasir.
Tengah enak-enaknya mengetik berita, teras di rumah sebelah tiba-tiba saja roboh. Brukk…!!! Semua mata melihatnya, lalu berpindah menatap saya. Jantung saya berdegup kencang. Saya lihat atap cor tempat saya mengetik cukup kuat, tetapi saya tidak boleh lama-lama, pikir saya. Beruntung, sinyal saat itu masih bersahabat sehingga saya bisa mengirim foto dan berita dengan cepat serta ikut rombongan pengungsi dengan truk ketiga untuk kembali ke atas (bendungan).
Tengah enak-enaknya mengetik berita, teras di rumah sebelah tiba-tiba saja roboh. Brukk…!!! Semua mata melihatnya, lalu berpindah menatap saya. Jantung saya berdegup kencang.
Selama perjalanan menjemput warga, percakapan tidak banyak muncul di antara TNI, pengungsi, dan kami. Semua terpaku mendapati suasana serba kelabu dengan kerusakan di mana-mana.
Setiba kembali di titik awal kami berangkat, kami mendapati motor kami tidak ada. Setelah dicari, rupanya motor tidak hilang, hanya tertimbun pasir. Setelah mengobrol dengan beberapa orang, kami memperoleh informasi bahwa ada seorang ibu melahirkan saat dievakuasi tadi pagi. Ia dikabarkan berada di Puskesmas Ngantang.
Kemanusiaan
Saya dan teman saya bertekad memperbarui informasi itu. Kembali dengan bersusah payah menembus jalan berpasir dengan motor, kami sampai di sebuah klinik di Ngantang. Kami menduga itu adalah puskesmas. Di sana kami mendapati ada satu jenazah warga dan seorang korban yang butuh perawatan. Keluarga korban, baik yang butuh perawatan maupun yang sudah meninggal, bingung bagaimana cara membawa keluarganya tersebut. Kendaraan umum masih susah menembus jalur. Di beberapa lokasi, TNI, Polri, dan sukarelawan sedang mengupayakan membersihkan jalan agar segera bisa dilalui.
Meski tugas utama sebagai jurnalis adalah meliput, panggilan kemanusiaan membuat kami berusaha mencarikan cara agar jenazah dan korban yang butuh dirawat bisa segera diangkut ke tempat yang lebih pas. Kami pun membantu menelepon BPBD mengabarkan hal itu. Akhirnya ada mobil pikap datang untuk mengangkut mereka.
Adapun kami melanjutkan perjalanan mencari ibu melahirkan saat evakuasi di Puskesmas Ngantang. Setibanya di puskesmas, rupanya puskesmas tutup. Kami tidak bisa melacak keberadaan si ibu. Terdengar kabar bahwa si ibu sudah dibawa ke rumah keluarganya di Malang utara. Kami putuskan kembali.
Sebelum pulang, kami menyempatkan mampir ke posko pengungsian di Pujon. Kami istirahat sejenak di Polsek Pujon, seperti wartawan lain. Namun, di sana, kami jadi terlihat aneh. Badan kami lusuh penuh debu, sementara wartawan lain berpenampilan rapi dan bersih. Mereka pun kaget mengetahui kami sampai ke lokasi bencana. Sementara mereka yang rata-rata wartawan televisi hanya berhenti di posko pengungsian.
Wartawan lain baru ikut meliput evakuasi ke perkampungan, Sabtu (15/2/2014), dengan menumpang mobil PMI Kota Malang. Saat itu, udara terasa lebih bersih karena hujan. Namun, terjadi banjir lahar hujan di sungai di Desa Pandansari.
Kami akhirnya memilih mengetik di sekitar Alun-alun Kota Batu sambil mengecek lokasi pengungsian di sana. Malam hari, saat semua pekerjaan selesai, kami pulang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba seorang bapak mengejar kami dengan motornya. ”Sudah, mengungsi di rumah saya saja. Tidak usah jauh-jauh. Rumah saya bisa ditempati,” katanya dengan semangat.
Rupanya bapak warga Kota Batu itu mengira kami pengungsi. Dengan tersenyum, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan menyatakan akan pulang karena rumah sudah dekat.
Sudah, mengungsi di rumah saya saja. Tidak usah jauh-jauh. Rumah saya bisa ditempati.
Sungguh liputan penuh pengalaman. Satu lagi catatan, untuk meliput letusan gunung, sebaiknya kamera disiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga debu gunung berapi tidak masuk ke kamera. Saking asyiknya meliput letusan Kelud saat itu, kamera saya kemasukan debu dan akhirnya tak bisa lagi digunakan.