Maluku Kembali Menatap Cerahnya Laut
Sektor perikanan yang menjadi andalan Maluku pernah dibayang-bayangi berbagai pelanggaran hingga perbudakan. Kini, penataan sistem dan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah mulai terasa dampaknya. Maluku dapat menatap kembali cerahnya masa depan di laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah mencatat, sepanjang tahun 2014, terdapat 8.484 kapal yang melakukan pelanggaran di Laut Arafura, Maluku. Kapal-kapal itu dimiliki asing ataupun dalam negeri. Setiap kapal mampu menampung hingga 2,02 ton ikan untuk sekali melaut. Setelah dihitung, nilai ekonominya sekitar Rp 40 triliun, hampir 20 kali APBD Maluku kala itu.
Hitungan di atas hanya untuk Laut Arafura. Padahal, di Maluku terdapat dua zona perairan besar lainnya yang juga kaya hasil laut, yakni Laut Banda dan Laut Seram. Dengan begitu, pelanggaran perikanan di Maluku besar kemungkinan jumlahnya lebih banyak dan berbanding lurus dengan potensi kehilangan pendapatan negara.
Sayangnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak merilis data utuh terkait keseluruhan jumlah pelanggaran dan potensi kehilangan pendapatan negara dari sektor perikanan di Maluku. Namun, dari sepotong gambaran data di Arafura itu, sudah terbayang betapa besarnya masalah yang dihadapi.
Wajah sektor perikanan di Maluku juga sempat buram akibat praktik perbudakan nelayan asing oleh PT Pusaka Benjina Resources yang bermarkas di tepian Laut Arafura, tepatnya di Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru. Kasus itu terbongkar pada 2015.
KKP akhirnya mencabut izin operasi perusahaan tersebut. Namun, kasus perbudakan itu berbuntut panjang dan membuat dunia internasional menyoroti komoditas perikanan Indonesia. Berkembang rumor, perikanan Indonesia tidak ramah pada manusia.
Bahkan, salah satu lembaga nonpemerintah di AS lewat suratnya meminta Menteri Luar Negeri AS kala itu, John Kerry, menghentikan impor ikan dari Indonesia. Dokumen itu diperoleh Kompas di Honolulu, Hawaii, AS, saat mengikuti International Visitor Leadership Program bertema ”Maritime Crime” yang digelar Departemén Luar Negeri AS pada Agustus-September 2018.
Desakan itu tak digubris lantaran 80 persen makanan laut AS merupakan hasil impor, termasuk dari Indonesia. Namun, cerita buram ini masih menjadi memori kolektif dunia bahwa pernah ada perbudakan nelayan di Indonesia.
Produksi meningkat
Setelah penataan kembali sistem pengelolaan perikanan di Indonesia empat tahun terakhir, termasuk penegakan hukum dengan membakar dan menenggelamkan lebih dari 400 kapal ikan asing, sektor perikanan Indonesia mulai kembali ke rel yang ideal. Pembenahan juga dilakukan di tubuh birokrasi dengan memangkas banyak regulasi yang dianggap merugikan negara.
Hasilnya, produksi perikanan tangkap meningkat. Produksi ikan secara nasional yang semula hanya 6,7 juta ton per tahun, setelah kebijakan moratorium, meningkat hingga 9,9 juta ton per tahun. Kebijakan yang sebelumnya merugikan negara, seperti bongkar-muat ikan di tengah laut (transhipment), dihapus.
Penggunaan nelayan dan kapal eks asing dilarang. Kebijakan lama itu menjadi celah untuk melanggengkan praktik penangkapan ikan secara ilegal dan tidak tercatat.
Maluku dengan luas wilayah laut sekitar 705.645 kilometer persegi atau 92 persen dari total keseluruhan wilayah provinsi tersebut ikut merasakan dampak positif.
Total potensi ikan di Maluku diperkirakan sekitar 3 juta ton per tahun atau 30 persen dari potensi ikan nasional. Potensi itu ditopang oleh luas laut dan ”kesuburan” perairan Maluku yang tidak banyak dimiliki perairan lain.
Berdasarkan penjelasan Peneliti Utama di Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Augy Syahailatua dalam artikelnya di Kompas (17/1/2015), sejak Ekspedisi Baruna pada 1964, Laut Arafura diketahui punya potensi sumber daya laut, khususnya udang, yang sangat melimpah.
Kekayaan sumber daya hayati laut ini sangat didukung oleh pasokan unsur hara, terutama fosfat dan nitrat, dari aliran sungai dan hutan mangrove yang berada di sepanjang pesisir timur Papua, Kepulauan Aru, dan bagian utara Australia (Teluk Carpentaria).
Selain itu, antara Mei dan Agustus juga terjadi peristiwa upwelling, yaitu perpindahan vertikal massa air dari dasar perairan ke permukaan. Dalam fenomena ini terjadi juga pengayaan unsur hara yang menyuburkan lapisan permukaan Laut Arafura.
Jadi, tak mengherankan jika laut itu menjadi lokasi yang sangat ideal bagi keberlangsungan hidup biota laut, khususnya ikan dan udang, sebagai komoditas perikanan utama nasional.
Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 jenis ikan dan sedikitnya 400 jenis udang yang hidup di Laut Arafura. Udang memang menjadi target utama dari perikanan di Laut Arafura.
Biasanya, udang dari kelompok Metapenaeus atau Metapenaeopsis diminati pasar domestik dan internasional. Belum lagi hewan laut lain, seperti lobster, teripang, bulu babi, dan cumi-cumi. Semua potensi hayati laut ini diperkirakan mencapai 855,5 ton per tahun (Kepmen KP No 45/MEN/2011).
Gairah perikanan
Saat ini, sektor perikanan di Maluku terus menunjukkan tren positif. Berdasarkan data Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Ambon, pengiriman ikan dari Maluku pada 2016 sebanyak 15.000 ton. Pada 2018, jumlahnya melonjak 637,3 persen menjadi 110.602 ton.
Pengiriman itu untuk ekspor dan kebutuhan di provinsi lain. ”Tren ini sangat positif. Angka ini diperkirakan akan semakin menanjak,” ujar Kepala BKIPM Ambon Ashari Syarief.
Naiknya angka pengiriman yang fantastis itu disebabkan produksi perairan yang meningkat dan kemudahan bagi pelaku usaha. Saat ini terdapat 15 pengusaha perikanan yang merambah pasar ikan global. Tiga tahun sebelumnya, jumlah eksportir ikan kurang dari separuh jumlah saat ini.
”Kami dorong pengusaha untuk memanfaatkan momentum ini. Perikanan di negara lain banyak yang redup. Indonesia terus tumbuh dan terbanyak dari Maluku,” kata Gubernur Maluku Said Assagaff.
Meski begitu, masih ada catatan penting terkait ekspor ikan dari Maluku, yakni kualitas. Perlakuan terhadap hasil tangkapan banyak yang belum memenuhi standar karena kurangnya sosialisasi untuk nelayan.
Contohnya, banyak nelayan lokal tidak tahu bahwa ikan yang dibiarkan menggelepar dalam waktu lama akan mengurangi kadar proteinnya. Begitu pula aspek kebersihan. Pernah ditemukan ikan yang terpapar bakteri salmonella.
Di sini perlu kerja sama semua pihak, mulai dari nelayan tangkap, pengepul, industri pengolah, balai karantina, hingga pemerintah daerah. Momentum kebangkitan sektor perikanan ini harus dimanfaatkan setelah sektor ini menjadi ”mainan” mafia selama berpuluh-puluh tahun. Inilah titik balik dari wajah buram perikanan Indonesia.