Mayoritas Masyarakat Bersedia Melaporkan Mala-administrasi
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 79,4 persen masyarakat bersedia melapor jika menemui mala-administrasi dalam pelayanan publik. Keberanian masyarakat melaporkan pelayanan publik yang tidak sesuai asas menunjukkan meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya pelayanan publik yang baik dan berkualitas.
Hasil tersebut didapatkan dari survei Indeks Persepsi Maladministrasi Ombudsman RI 2018 yang disampaikan kepada jurnalis di Jakarta, Kamis (21/2/2019). Survei ini dilakukan terhadap 2.818 responden di 10 provinsi.
”Fakta ini menunjukkan hal positif, bahwa masyarakat memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk melapor,” kata anggota Ombudsman, Adrianus Meliala.
Survei dilakukan pada empat jenis layanan dasar publik, yaitu kesehatan, pendidikan, perizinan, dan administrasi kependudukan. Seluruh responden ditemui secara langsung oleh tim survei dan dimintai keterangan terkait mala-administrasi pada layanan publik tersebut.
Adapun pengetahuan terhadap istilah mala-administrasi hanya dikenal 22 persen responden, yang lebih dari 50 persen berlatar belakang pendidikan perguruan tinggi. Istilah mala-administrasi kebanyakan dikenal responden dari media elektronik dengan persentase 52,8 persen, disusul keluarga atau teman (21,2 persen), media sosial (19,3 persen), dan media non-elektronik (6,7 persen).
”Ketika kami ketengahkan konsep mala-administrasi, masyarakat tidak tahu. Tetapi, ketika kami berikan contoh, misalnya, apakah petugas datang terlambat, petugas layanan meminta uang, apakah pelayanan bertele-tele, mereka mengerti. Dibanding lima tahun lalu, kami melihat saat ini masyarakat makin paham (bentuk mala-administrasi),” lanjut Adrianus.
Berdasarkan survei tersebut, Ombudsman menemukan, masyarakat penerima layanan publik di 10 provinsi, yang mendapatkan predikat hijau dalam survei Kepatuhan terhadap Standar Layanan Publik Tahun 2017, menemukan lebih sedikit mala-administrasi di daerah mereka.
Sepuluh provinsi berpredikat hijau itu adalah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Kota yang disurvei adalah Medan (Sumut), Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Jambi, Jakarta Pusat (DKI), Bandung (Jabar), Serang (Banten), Kupang (NTT), Balikpapan (Kaltim), Makassar (Sulsel), dan Kendari (Sultra).
Sementara kabupaten yang disurvei adalah Deli Serdang (Sumut), Lingga (Kepulauan Riau), Merangin (Jambi), Kepulauan Seribu (DKI), Garut (Jabar), Lebak (Banten), Timor Tengah Selatan (NTT), Kutai Kartanegara (Kaltim), Bone (Sulsel), dan Konawe (Sultra).
NTT menjadi provinsi dengan tingkat mala-administrasi rendah dengan skor 4,87. Di urutan ke-10 adalah Banten dengan skor 5,52. Sementara pada survei tahun 2017, Bali mendapat skor terbaik dengan angka 4,46. Paling rendah jatuh kepada Riau dengan skor 5,38. Tahun depan, Ombudsman berencana melakukan survei nasional dengan melibatkan 34 provinsi.
Tatap muka
Dalam survei tahun 2018, Ombudsman juga menemukan, sebanyak 70,3 persen responden masih nyaman mendapatkan pelayanan secara tatap muka atau langsung. Terkait kenyamanan dalam mengakses informasi tentang standar pelayanan, sebanyak 51,6 responden memilih untuk bertanya langsung kepada petugas.
”Ini hal yang mengejutkan di mana sekarang banyak pelayanan dilakukan dengan pendekatan online (daring). Masyarakat yang kami datangi lebih menginginkan ketemu petugas, disambut ramah, tahu kapan layanan itu selesai, lalu pulang,” ujar Adrianus.
Hal ini berdasarkan hasil survei yang menunjukkan hanya 17,4 persen responden yang nyaman dengan interaksi daring.
Menanggapi temuan tersebut, Ketua Komisi Informasi Publik Gede Narayana Sunarkha mengatakan, fenomena itu tidak menjadi masalah selama tidak menyalahi regulasi atau ditemukan mala-administrasi.
Kepuasan masyarakat dalam mengakses layanan publik antara lain dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Aturan itu mewajibkan pemberi layanan publik menerapkan standar dan berhak menerima sanksi jika melanggar aturan.
”Bagi kami, yang penting, pelayanan publik dilakukan sesuai regulasi. Bagaimana masyarakat dapat aktif mendapat dan mengembangkan informasi, balik lagi bagaimana kepuasan mereka, apa pun mediumnya,” ujarnya. (ERIKA KURNIA)