Pemda Berperan Penting dalam Perlindungan Bahasa Daerah
Oleh
Hamzirwan Hamid
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam upaya pelindungan bahasa daerah. Tanpa keseriusan kepala daerah beserta jajarannya, eksistensi bahasa daerah makin terancam seiring berkurangnya pewarisan ke generasi muda dan modernisasi.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Dadang Sunendar di Jakarta, Kamis (21/2/2019), mengatakan, pemerintah daerah (pemda) berperan penting karena memiliki berbagai sumber daya di wilayah masing-masing. Peran aktif kepala daerah tersebut membuat upaya pelindungan bahasa daerah akan lebih efektif dan efisien.
"Saya yakin ketika gubernur memerintahkan bupati atau walikota, kepala dinas, hingga masyarakat, itu akan diikuti oleh masyarakat," kata Dadang pada seminar "Menjaga Bahasa Daerah, Merawat Kebhinekaan" dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional setiap 21 Februari.
Dadang melanjutkan, meskipun pemda berperan penting, banyak kepala daerah yang belum memberikan perhatian. Padahal, dalam berbagai peraturan dan undang-undang, salah satunya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007, pemda berkewajiban dalam upaya pelindungan bahasa daerah.
"Kami selalu mengimbau pimpinan daerah agar terus mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah. Kami melalui balai/kantor bahasa di daerah siap berkolaborasi," ujarnya.
Dadang menjelaskan, upaya pengembangan, pembinaan, dan pelindungan penting dalam menjaga eksistensi bahasa daerah. Keberadaan bahasa daerah harus dijaga karena salah satu penanda identitas seseorang. Kebhinekaan di Indonesian ditunjukkan dengan banyaknya bahasa daerah dari berbagai suku bangsa.
Telah punah
UNESCO pada 21 Februari 2009 merilis, sekitar 2.500 bahasa di dunia, termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia, terancam punah. Sebanyak 200 bahasa di dunia telah punah dalam 30 tahun terakhir dam 607 bahasa berstatus tidak aman.
Sementara itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2018 mencatat, dari 74 bahasa daerah yang telah dipetakan daya hidupnya, 11 bahasa telah punah karena tidak ada lagi penuturnya. Sementara itu, 4 bahasa berstatus kritis dan 22 bahasa terancam punah. Secara keseluruhan, Indonesia memiliki 668 bahasa yang telah didokumentasikan dari 2.467 daerah pengamatan.
"Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga--sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah," kata Dadang mengutip pernyataan UNESCO.
Menurut Dadang, keberadaan bahasa daerah di Indonesia terancam karena mulai ditinggalkan penutur. Di beberapa keluarga, terutama di perkotaan, bahasa daerah tidak lagi menjadi bahasa ibu (bahasa yang pertama kali diajarkan) bagi anak. Orangtua memilih mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak.
"Kondisi ini sangat disayangkan. Jangan sampai anak-anak baru belajar bahasa daerah di sekolah ketika pelajaran muatan lokal, agak terlambat," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, sastrawan, Saut Poltak Tambunan, mengatakan, Bahasa Indonesia beralih menjadi bahasa ibu karena menjadi bagian dari gaya hidup. Sebaliknya, bahasa daerah mulai ditinggalkan karena dianggap ketinggalan zaman. Berbahasa daerah juga dianggap sebagai penghambat proses asosiasi dalam interaksi sosial di daerah lain.
Dadang menambahkan, kunci dari menjaga eksistensi bahasa daerah adalah pewarisan. Oleh sebab itu, orangtua bertanggung jawab untuk mengajarkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu kepada anaknya.
Praktik baik
Dalam kesempatan itu, Dadang turut menceritakan praktik baik di beberapa daerah dalam pelindungan bahasa daerah melalui konservasi dan revitalisasi. Bahasa daerah yang pernah dikonservasi atau direvitalisasi, antara lain bahasa Hitu (Maluku), bahasa Rote (Nusa Tenggara Timur), bahasa Kerinci (Jambi), dan bahasa Rejang (Bengkulu).
Dalam pelindungan bahasa Hitu yang berstatus rentan, misalnya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bekerja sama dengan Kantor Bahasa Provinsi Maluku pada 2016-2017. Untuk meningkatkan prestise masyarakat menggunakan bahasa Hitu, komunitas tutur dikembangkan secara ekslusif dengan pengajaran klasikal dan kegiatan seni.
Sementara itu, untuk mempertahankan penggunaannya, orangtua didorong menggunakan bahasa Hitu di rumah dan mengajarkannya ke anak-anak. "Hasil yang dicapai, yaitu pencanangan penggunaan bahasa Hitu di setiap keluarga pada hari Minggu oleh Raja Negeri Hitu Lama. Bahasa Hitu diajarkan di SD yang ada di wilayah Negeri Hitu Lama," kata Dadang.
Kepala Dinas Pariwisata Pakpak Bharat Bambang Sunarjo Banurea mengatakan, untuk melindungi bahasa Pakpak, Pemerintah Daerah Pakpak Bharat, Sumatera Utara, telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pakpak Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pakpak.
"Kemudian, ada pula peraturan bupati tentang menggunakan bahasa dan pakaian Pakpak setiap hari Kamis di instansi pemerintah. Pelajaran muatan lokal bahasa Pakpak juga diadakan di sekolah," ujarnya. (YOLA SASTRA)