Perpecahan Ancam Visi Indonesia Emas 2045
SURABAYA, KOMPAS – Hampir dalam setiap pemilihan umum, pengelompokan selalu terjadi di kalangan pemilih. Namun jelang pemilu yang akan berlangsung pada 17 April 2019, pengelompokan di masyarakat dinilai samakin tajam. Dua kelompok berbeda pilihan saling menyerang dan diperparah dengan beredarnya hoaks yang diproduksi terus menerus.
Jika hal itu terus berlanjut, dikhawatirkan bisa mengacaukan pemilu. Dalam jangka panjang, terbelahnya kelompok-kelompok masyarakat berpotensi membuat bangsa ini sulit mencapai visi Indonesia Emas 2045 yang unggul, maju, dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
“Muncul sistem yang mengganggu kebangsaan, misalnya fitnah-fitnah melalui hoaks yang selalu diproduksi meskipun sudah diluruskan. Kemudian saling tuding (antar kelompok) berdasar ikatan primordial, agama, yang sering mengatasnamakan perjuangan, itu mengoyak ikatan kebangsaan,” kata Ketua Suluh Kebangsaan Mahfud MD usai Dialog Kebangsaan Seri VII bertajuk “Meneladani Patriotisme Arek Surabaya Bagi Indonesia Emas 2045” di Stasiun Surabaya Gubeng, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/2/2019).
Dialog kebangsaan ini merupakan bagian dari Jelajah Kebangsaan yang digelar Gerakan Suluh Kebangsaan bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia. Selain Mahfud, hadir sebagai narasumber Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi; Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid; Rektor Universitas Islam Negeri Surabaya Abdul A’la; Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang Syamsul Arifin; Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Sidoarjo Kyai Agoes Ali Mashuri; dan pujangga Madura, Kyai Zawawi Imron.
Mahfud menilai, menjelang pemilu kali ini banyak gangguan terhadap persatuan bangsa. Gangguan yang paling kuat adalah penyebaran hoaks yang diproduksi oleh kelompok yang ingin mengadu domba masyarakat dari kedua belah kubu pendukung calon presiden. Padahal sejatinya, pemilihan presiden adalah salah satu cara melahirkan pemimpin bersama melalui jalur konstitusional.
Hoaks dalam pemilu yang menimbulkan pengelompokan tidak hanya terjadi pada pemilu 2019. Pada Pemilu 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, hoaks dan pengelompokan masyarakat juga terjadi di masyarakat. Hoaks cepat menyebar melalui media sosial.
Hoaks terkait calon presiden yang berkontestasi pada pemilu kali ini pada umumnya berisi tentang berita bohong untuk membuat masyarakat tidak memilih calon tersebut. Padahal dalam setiap kontestasi pemilu tidak pernah bisa memunculkan calon yang ideal. Masyarakat harus memilih yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang ada.
Menurut Mahfud, pemilu seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi yang menyenangkan dan penuh kebahagiaan. Masyarakat sebagai konstituen seharusnya menikmati jalannya pesta demokrasi dengan santai tanpa perlu dipusingkan dan disesatkan dengan hoaks-hoaks yang beredar. "Tidak ada ada pesta kalau pulang-pulang semuanya sakit perut. Ibarat pesta sudah pulang, perut kita enak dan kita rukun kembali sebagai bangsa," ujarnya.
Dengan demikian, pengelompokan seharusnya teredam saat pemilu usai. Jangan sampai hal ini terus terbawa hingga kemudian hari meskipun pemimpin sudah terpilih. Kedua belah pihak pendukung calon presiden harus bersatu memperjuangkan Indonesia.
Alissa mengatakan, pada 2045 Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia yang bisa berdampak pada peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat. Namun hal itu hanya bisa dicapai apabila seluruh masyarakat bersatu menghadapi era disrupsi revolusi industri 4.0.
Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah perbedaan di kalangan masyarakat yang dipicu oleh kontestasi politik dan golongan. Hal ini dianggap sebagai suatu masalah besar, sebab jika tidak bisa diselesaikan dengan baik, peluang tersebut sulit untuk diraih.
“Orang lain sudah berpikir untuk piknik ke bulan, kita masih rebut soal calon presiden, apa latar belakangnya, ibadah di mana. Ini masalah besar karena yang dikuat-kuatkan adalah rasa tidak percaya,” katanya.
Kyai Ali meyakini, Indonesia akan menjadi kiblat peradaban dunia, dengan syarat seluruh bangsa harus bersatu. Masyarakat jangan mau diadu domba dengan kelompok yang berbeda melalui hoaks yang diproduksi kelompok tidak bertanggung jawab. “Beda jangan dianggap lawan,” katanya.
Krisis kepemimpinan
Menurut dia, saat ini Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. Tidak banyak tokoh-tokoh yang layak untuk diteladani. Padahal seharusnya, elite politik menunjukkan dan memulai sikap kenegarawanan yang bisa diteladani masyarakat akar rumput. “Tidak sedikit orang cerdas karena berwawasan majemuk,” ujarnya.
Budi mengatakan, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif. Dunia menilai Indonesia adalah salah satu tempat yang mudah untuk investasi. Dalam momentum itu, Budi mengajak seluruh masyarakat bersatu dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.
“Masyarakat harus meneladani sikap para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa tanpa menonjolkan perbedaan kelompok,” ucap Budi.
Menurut Syamsul, ada masalah serius terkait literasi di masyarakat. Kebanyakan sudah merasa cukup mendapatkan informasi dari media sosial yang kebenarannya tidak bisa dipertanggung jawabkan. Akibatnya, pemahaman mengenai sejarah yang memiliki nilai-nilai patriotisme amat kurang, di sisi lain tokoh-tokoh yang bisa menjadi teladan tidak banyak.
Masyarakat pun akhirnya merasa bisa menjustifikasi kesalahan seseorang yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas yang cukup. Justifikasi biasanya menggunakan agama yang dikomodifikasi sebagai pembenaran atas “Justifikasi hanya karena merasa pilihannya paling benar,” katanya.