Pertumbuhan Restitusi Belum Berdampak Signifikan pada Kinerja Ekspor
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) belum mampu mendorong pertumbuhan ekspor secara signifikan. Salah satu penyebabnya karena perdagangan global yang tumbuh melambat.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dikutip Kompas, Kamis (21/2/2019), restitusi PPN tumbuh dalam dua tahun terakhir. Restitusi tumbuh 14,1 persen dari Rp 10,2 triliun pada Januari 2017 menjadi Rp 11,6 triliun pada Januari 2018. Pada Januari 2019, restitusi PPN mencapai Rp 16,4 triliun atau tumbuh 46,66 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Subsektor utama penerima restitusi pada Januari 2019 adalah industri sawit Rp 3,6 triliun, logam dasar Rp 2,2 triliun, pertambangan Rp 2 triliun, kertas Rp 1,4 triliun, dan kendaraan 1,3 triliun. Porsi subsektor utama itu sebesar 65 persen dari total restitusi yang diberikan.
Di sisi lain, total ekspor pada Januari-Desember 2018 hanya tumbuh 6,65 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017 atau sebesar 180,06 miliar dollar AS. Pertumbuhan ekspor dua dari lima subsektor utama penerima restitusi bahkan melambat, yaitu industri sawit dan logam dasar.
Ekspor industri sawit turun dari 22,97 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 20,34 miliar dollar AS pada 2018. Penurunan ekspor juga terjadi pada industri logam dasar dari 121,7 juta dollar AS pada 2017 menjadi 117,3 juta dollar AS pada 2018.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global semakin nyata. Hampir semua ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia tumbuh melambat, kecuali Amerika Serikat.
"Perlambatan ekonomi ini berdampak pada kinerja perdagangan global. Akibatnya, ekspor domesik menghadapi tantangan," kata dia.
Perlambatan ekonomi ini berdampak pada kinerja perdagangan global. Akibatnya, ekspor domesik menghadapi tantangan.
Untuk mendorong ekspor, lanjut Sri Mulyani, pemerintah memberikan berbagai fasilitas perpajakan salah satunya melalui kebijakan percepatan restitusi. Realisasi restitusi yang mencapai 40,66 persen pada Januari 2019 merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan layanan bagi dunia usaha. Restitusi juga sebagai apresiasi terhadap wajib pajak patuh dan memiliki reputasi baik.
“Fasilitas restitusi yang kami lakukan di bidang pajak untuk membuat dunia usaha semakin nyaman,” kata Sri Mulyani.
Baca juga: Restitusi Pajak Dipercepat dan Dipermudah
Restitusi adalah pengembalian atas kelebihan pajak yang telah dibayarkan wajib pajak. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib pajak mesti mengajukan permohonan restitusi. Kemenkeu akan meneliti dan memverifikasi untuk memutuskan mengabulkan atau tidak mengabulkan. Jika mengabulkan, nilainya bisa sama atau bisa juga tidak sama dengan permohonan wajib pajak.
Sejak 2018, Kemenkeu mempercepat dan mempermudah prosedur yang dikenal panjang dan rumit, serta melonggarkan kriteria restitusi. Aturan pelaksanaanya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39 Tahun 2018.
Kriteria wajib pajak yang berhak mendapat percepatan restitusi diperluas menjadi wajib pajak dengan riwayat kepatuhan baik, wajib pajak dengan nilai restitusi kecil, dan pengusaha kena pajak berisiko rendah. Selain itu, nilai restitusi yang berhak mendapatkan percepatan pengembalian dinaikkan 10 kali lipat dari aturan lama.
Untuk Pajak Penghasilan (PPh) pribadi bukan karyawan, dari maksimal Rp 10 juta naik menjadi Rp 100 juta. Untuk PPh wajib pajak badan dan Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak, dari Rp 100 juta menjadi Rp 1 miliar.
Faktur fiktif
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, ada dua indikasi penyebab pertumbuhan restitusi belum bisa mendorong kinerja ekspor secara signifikan, yaitu kemungkinan terjadi kebocoran insentif dan ketidaksesuaian data ekspor.
Kebocoran dalam restitusi pajak disebabkan beberapa modus kecurangan, misalnya, membuat faktur fiktif, manipulasi data ekspor, hingga menggunakan nama eksportir palsu. Faktur fiktif berarti pencatatan transaksi yang tidak sesuai keadaan sebenarnya. Praktik-praktik itu yang menyebabkan pertumbuhan restitusi tidak sebanding dengan kinerja ekspor.
Baca juga: Perlambatan Global Makin Berdampak
"Pemerintah mesti mengevaluasi pertumbuhan restitusi dan efektivitasnya," kata Yustinus.
Ada dua indikasi penyebab pertumbuhan restitusi belum bisa mendorong kinerja ekspor secara signifikan, yaitu kemungkinan terjadi kebocoran insentif dan ketidaksesuaian data ekspor.
Selain kebocoran, lanjut Yustinus, ada pencatatan data yang tidak sesuai baik antara eksportir, kementerian teknis, dan negara mitra dagang. Lembaga riset Global Financial Integrity pernah melaporkan adanya perbedaan data dalam dokumen pembelian (invoice) ekspor salah satu komoditas antara Indonesia dan China.
Meski demikian, kebijakan percepatan restitusi tetap harus dilakukan. Pemerintah seyogianya meningkatkan pengawasan agar restitusi yang diberikan tetap berdampak ke perekonomian dalam negeri. Sistem kontrol data dan pola transaksi wajib pajak mesti diperkuat. Pemanfaatan teknologi canggih bisa menjadi solusi.
Di sisi lain, peningkatan restitusi juga berdampak ke turunnya penerimaan negara. Penerimaan dari PPN pada Januari 2019 tumbuh negatif 9,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Realisasi PPN senilai Rp 29,3 triliun lebih rendah dari tahun lalu Rp 32,2 triliun. PPN dalam negeri juga tumbuh negarif 19,5 persen sebesar Rp 14,99 triliun.
“Kenaikan restitusi sekitar Rp 5 triliun pada Januari memberikan kontraksi terhadap PPN,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan.
Robert menyatakan, jumlah Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang dikirimkan wajib pajak melonjak hingga 264 persen dari 1.499 SPT tahun 2017 menjadi 5.449 SPT tahun 2018. Nominal restitusi yang diberikan juga naik dari Rp 10,74 miliar tahun 2017 menjadi Rp 20,46 miliar tahun 2018. Peningkatan yang cukup signifikan ini dipengaruhi kebijakan percepatan restitusi yang berlaku sejak tahun lalu.