Semakin Besar Jumlah Pemilih Semakin Kurang Antusias
Hasil pemilu di negeri ini menunjukkan relasi yang justru terbalik antara besar kecilnya jumlah pemilih dengan tingkat partisipasinya. Semakin banyak jumlah pemilih di suatu daerah pemilihan, justru pemilih kurang antusias. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah pemilih, malah cenderung semakin tinggi derajat keikutsertaan dalam pemilu.
Pola hubungan yang erat namun saling bertolak ini tercermin pada hasil analisis terhadap 77 daerah pemilihan (dapil) yang digunakan dalam Pemilu 2014 lalu. Relasi yang tidak selaras semacam ini menjadi potret timpang geopolitik masyarakat dan sekaligus menunjukkan corak dari demokratisasi prosedural yang berlangsung di negeri ini.
Hasil kajian merekam tiap-tiap karakteristik dapil dengan beragam besaran nilai variabel yang disandangnya. Dari sisi jumlah pemilih, misalnya, terdapat wilayah-wilayah yang dapat dikategorikan besar jumlah pemilihnya. Suatu dapil dikatakan besar jika jumlah para pemilihnya di atas rata-rata dari total dapil yang dikaji.
Ukuran rata-rata dapil sebesar 2,413,350 pemilih. Berdasarkan nilai tersebut, Dapil Jawa Barat VII,yang meliputi kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta menjadi wilayah dengan jumlah pemilih paling banyak. Saat itu, sebanyak 4,335,139 pemilih bermukim di dapil ini.
Selain Jawa Barat VII, secara berurut dapil Banten III, Sumatera Utara I, Jawa Barat XI, dan Jawa Barat II termasuk lima dapil dengan jumlah pemilih terbanyak. Begitupun pada Pemilu 2019 mendatang, wilayah ini termasuk daerah pemilihan dengan jumlah pemilih terbanyak.
Sebaliknya, hasil kajian ini juga mengungkapkan wilayah-wilayah dengan jumlah pemilih yang relatif kecil, atau di bawah rata-rata. Jarak perbedaan jumlah di antara kategori dapil dengan pemilih terbanyak dan dapil yang memiliki jumlah pemilih paling sedikit, tampak sangat senjang.
Jika diproporsikan, jumlah pemilih di wilayah paling sedikit ini tidak lebih dari 16 persen dari jumlah pemilih di Jawa Barat VII. Dari kelompok dapil terkecil, Papua Barat yang meliputi semua kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat, menjadi yang paling sedikit. Terdapat 709,101 pemilih mukim di Papua Barat.
Selain Papua Barat, wilayah-wilayah yang sebagian besar berada di kawasan Indonesia Timur masuk kategori jumlah pemilih sedikit. Secara berurut: Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, dan Maluku.
Di samping jumlah pemilih, kajian ini juga menunjukkan derajat variasi partisipasi pemilih yang berbeda-beda pada seluruh daerah pemilihan. Terdapat wilayah dengan partisipasi yang sangat tinggi, jauh di atas rata-rata tingkat partisipasi pemilu nasional. Papua, misalnya, paling tinggi partisipasinya. Sebanyak 95,14 persen pemilih menggunakan hak pilih. Besaran partisipasi yang sedemikian tinggi di Papua tentu tidak lepas dari sistem perwakilan (noken) yang digunakan.
Namun, menjadi menarik dalam mencermati antusiasme para pemilih di wilayah JawaTimur XI. Daerah pemilihan yang terdiri dari seluruh kabupaten di Madura itu partisipasi pemilihnya mencapai 87,70 persen. Begitu pula wilayah-wilayah kawasan timur, seperti dapil NTT I, Gorontalo, Maluku Utara, dan Maluku, yang tergolong sangat tinggi dalam antusias mememilih.
Artinya, pada kawasan wilayah ini pemilu menjadi suatu peristiwa yang sangat penting hingga mampu menghadirkan lebih dari 80 persen pesertanya.
Hanya, kondisi yang sebaliknya terjadi di beberapa dapil, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Dapil Sumatera Utara I yang meliputi pemilih di Kota Medan, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang, dan Serdang Bedagai ini menjadi wilayah yang paling tidak antusias dalam mengikuti pemilu.
Hanya 58,44 persen para pemilih di wilayah kota dan berbatasan dengan kota itu yang menggunakan hak pilih mereka. Selain Dapil Sumatera Utara I, di Pulau Jawa, wilayah Jawa Barat VIII yang meliputi Indramayu, Cirebon, dan kota Cirebon juga tergolong rendah.
Besaran jumlah pemilih di setiap dapil dan derajat partisipasi para pemilih di tiap-tiap dapil tersebut jika dihubungkan membentuk suatu konfigurasi relasi politik masyarakat. Pada tataran ideal, yang sekaligus menjadi salah satu ukuran keberhasilan suatu kontestasi politik di negeri-negeri yang menganut sistem demokrasi, besaran jumlah pemilih selaras dengan tingkat partisipasinya.
Oleh karena itu, semakin besar jumlah pemilih idealnya semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Dalam kondisi seperti ini, corak demokrasi yang tercermin dalam penyelenggaraan pemilu relatif berhasil.
Hanya saja, di negeri ini pola hubungan yang terbentuk di antara besaran jumlah pemilih dengan derajat partisipasinya tidak bersifat searah, bahkan justru saling bertolak belakang (koefisien korelasi negatif). Pola hubungan antara kedua variabel tersebut tergambarkan dalam grafik berikut.
Konfigurasi hubungan semacam ini mengindikasikan bahwa pada Pemilu 2014 lalu semakin besar jumlah pemilih di suatu daerah pemilihan justru cenderung kurang antusias menggunakan hak pilih mereka. Sebaliknya, semakin kecil jumlah pemilih di suatu daerah pemilihan maka semakin tinggi tingkat partisipasinya.
Dengan pola hubungan yang terbentuk, dan jika ukuran-ukuran terhadap demokrasi ditandai oleh derajat partisipasi pemilih dalam pemilu, maka corak demokrasi di negeri ini menjadi problematik. Mengapa justru terjadi kecenderungan semakin rendahnya antusiasme dalam memilih di wilayah-wilayah yang besar jumlah pemilihnya?
Persoalan semacam ini menarik ditelusuri lebih jauh pangkal penyebabnya. Dalam mengkaji rendahnya partisipasi pemilih, terbangun beberapa kemungkinan yang mencoba menjelaskan dengan berbagai argumentasi.
Pertama, argumentasi-argumentasi jawaban yang bertitik tolak dari sisi pemilih, baik dari sisi psikologis maupun sosiologisnya. Hasil-hasil survei opini publik menjadi dasar pengujian. Dari berbagai hasil survei opini publik menunjukkan, minimnya partisipasi pemilih terjadi didasarkan pertimbangan aspek rasionalitas teknis, ekonomis, hingga yang lebih bersifat ideologis.
Kalkulasi benefit dari memilih, persoalan jarak, tiadanya kesempatan (waktu), misalnya, menjadi alasan-alasan yang umum dinyatakan oleh para pemilih, terutama mereka yang mukim di kawasan perkotaan. Begitu pula, argumentasi yang lebih bersifat ideologis. Merasa bahwa pemilu tidak sejalan dengan apa yang menjadi orientasi kepentingan dan ideologi mereka, paling sering diungkapkan.
Argumentasi demikian banyak mendapatkan pembenaran dalam pengujian hasil-hasil survei opini publik. Namun, jika dikaitkan dengan temuan kajian ini, bahwa rendahnya partisipasi dalam pemilu cenderung terjadi pada wilayah-wilayah yang besar jumlah penduduknya, maka kurang mendukung.
Kedua, argumentasi jawaban penyebab rendahnya partispasi pemilu yang bersandar pada para aktor-aktor politik, peserta pemilu, yang berkontestasi. Dalam perspektif demikian, calon presiden ataupun partai politik yang bersaing dirasakan belum cukup memiliki daya tarik bagi setiap pemilih yang tercatat.
Atau, ekspektasi para pemilih belum sebanding dengan apa yang dijanjikan oleh partai ataupun calon presiden. Terlebih jika para aktor politik peserta pemilu merupakan kalangan yang dianggap jauh dari representasi mereka atau sosok-sosok politik yang tampil berulang pada setiap penyelenggaraan pemilu.
Kondisi demikian secara tidak langsung dapat dibuktikan dari kecenderungan semakin minimnya para peserta pemilu legislatif, sosok-sosok anggota legislatif, yang dari setiap keikutsertaannya dalam pemilu konsisten mendapatkan peningkatan suara. Apa yang terjadi justru penurunan jumlah dukungan, dengan sendirinya menunjukkan semakin lemahnya daya tarik bagi para pemilih untuk menggunakan hak politiknya.
Seperti juga pada cara pandang penyebab yang pertama, performa aktor politik ataupun partai politik berelasi secara positif dengan antusiasme masyarakat. Akan tetapi, kondisi demikian belum banyak terbuktikan jika dihubungkan dengan wilayah yang besar jumlah pemilihnya. Bukankah kecenderungan daya tarik sosok ataupun aktor politik terjadi secara merata pada setiap daerah pemilihan, baik wilayah yang tergolong besar ataupun kecil jumlahnya?
Ketiga, argumentasi penyebab rendahnya partisipasi yang lebih dilekatkan pada aspek kapabilitas penyelenggaraan pemilu. Cara pandang demikian tidak disandarkan pada persoalan politik ataupun ideologis, namun bertitik tolak pada aspek teknis penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh pemegang otoritas pemilu.
Memang, jika merujuk pada kajian ini, semakin besar jumlah penduduk secara jelas menunjukkan potensi kompleksitas pengelolaan jalannya pemilu itu sendiri. Apabila yang terjadi justru pada wilayah-wilayah yang terlalu besar jumlah pesertanya atau wilayah-wilayah dengan kondisi geografi yang sulit terjangkau, dan pada wilayah tersebut ternyata rendah partisipasi masyarakatnya, bisa jadi mengindikasikan suatu problem dalam pengelolaan pemilu.
Argumentasi penyebab semacam ini belum sepenuhnya dapat dibuktikan. Dari pendekatan tingkat kesulitan geografis, misalnya, justru wilayah-wilayah yang terkategorisasikan berada dalam kawasan Indonesia bagian Timur, relatif tinggi partisipasi politiknya.
Derajat partisipasi yang rendah justru terjadi di wilayah-wilayah perkotaan Jawa dan Sumatera, yang relatif tidak ada kendala geografi. Padahal, jika dikaitkan dengan besaran jumlah penduduk, memang tampak pada wilayah besar pemilihnya, yang didapati juga berada di wilayah perkotaan, menjadi kawasan yang paling rendah antusiasme para pemilihnya.
Dari ketiga argumentasi di atas, tampaknya relasi antara besaran jumlah pemilih dengan derajat antusiasmenya tidak cukup dapat menjelaskan secara menyeluruh. Bisa jadi setiap cara pandang berikut argumentasi yang menyertainya ikut berperan secara simultan. Namun di luar persoalan tersebut, semakin nyata diperlukan suatu jawaban yang didasarkan pada kondisi kekhususan suatu wilayah.
Pertautan antara jumlah pemilih dengan tingkat partisipasinya harus dikaji secara geopolitik spasial yang menempatkan keragaman perbedaan kondisi di setiap kategori daerah pemilihan. Berdasar cara pandang demikian, pola hubungan antara jumlah pemilih dan tingkat partisipasinya dapat dipilah menjadi empat kategori wilayah dapil.
Pertama, kelompok daerah pemilihan yang tergolong besar (di atas rata-rata) jumlah pemilihnya dan di sisi lain juga memiliki tingkat partisipasi di atas rata-rata. Daerah demikian menjadi wilayah politik paling berprospek. Dikatakan paling berprospek lantaran dengan jumlah pemilih yang besar dan terholong sangat antusias memilih, relatif tidak menyulitkan bagi tiap-tiap aktor politik yang berkontestasi di wilayah ini.
Jika diinventarisasi, sebanyak 17 dari total 77 Dapil yang dikaji masuk dalam kelompok ini. Dari total suara pemilih, sebanyak 27,8 persen dari total pemilih seluruh Indonesia mukim di kelompok wilayah ini. Beberapa wilayah padat penduduk, seperti di Dapil Jawa Timur XI, Jawa Timur VIII, Sumatera Utara II, NTB, seluruh Kalimantan Barat masuk di dalamnya.
Dari sisi partisipasi pemilih, wilayah-wilayah tersebut di atas partisipasi rata-rata nasional. Inilah wilayah yang menjadi model demokrasi partisipatif. Masih tidak terlalu banyak memang jumlahnya, namun beragam argumentasi yang mendasari alasan rendahnya partisipasi pemilih tidak terbukti di wilayah ini.
Kedua, kelompok daerah pemilihan yang juga besar namun diikuti oleh partisipasi politik yang relatif rendah. Medan pertarungan penguasaan politik di wilayah demikian relatif berat, menjadi hambatan bagi tiap-tiap aktor politik ataupun kekuatan politik partai. Di satu sisi jumlah pemilih yang banyak membuka peluang penguasaan suara yang besar pula.
Namun, dengan tingkat partisipasi yang rendah, menjadi penghambat dalam penguasaan suara. Dalam kondisi demikian, diperlukan energi yang besar dari para aktor politik ataupun partai politik untuk mengubah para pemilih menjadi lebih antusias.
Pada kelompok wilayah ini terdapat 21 daerah pemilihan. Sebanyak 35,56 persen dari total pemilih nasional bermukim pada kelompok ini. Sebagian besar berasal dari daerah pemilihan yang tersebar di Jawa. Jawa Barat II, Jawa Tengah III, Jawa Timur VII, hingga DKI III yang relatif padat penduduk termasuk di dalamnya.
Mengapa partisipasi pemilu relatif rendah di wilah kategori demikian? Berbagai argumentasi psikologis, sosiologis, hingga ekonomis bisa jadi mendapatkan pembenaran di wilayah ini.
Ketiga, merupakan kelompok daerah pemilihan yang relatif rendah jumlahnya namun di sisi lain memiliki tingkat antusiasme pemilih yang tinggi. Dari sisi praktis, dengan kondisi demikian, para aktor politik ataupun partai politik yang berkontestasi relatif diuntungkan oleh tingginya antusiasme memilih. Hanya, potensi suara yang diraih tidak sebesar wilayah yang banyak jumlah pemilihnya.
Dari total pemilih nasional, sebanyak 16,04 persen saja yang bermukim di 19 daerah pemilihan yang menjadi bagian dari kelompok ini. Dapil Gorontalo, NTT I, Papua Barat, Maluku Utara, dan beberapa dapil di Sulawesi termasuk dalam wilayah yang partsipasi pemilihnya tinggi kendati jumlah pemilihnya rendah.
Keempat, merupakan daerah pemilihan yang kurang prospektif. Dengan jumlah pemilih yang relatif rendah dan diikuti antusiasme memilih yang juga rendah membuat siapapun aktor politik ataupun partai politik berpikir panjang menjadikan wilayah ini sebagai basis kekuasaannya.
Kelompok wilayah demikian terdiri dari 20 dapil dengan penguasaan pemilih hingga 20,1 persen dari total suara nasional. Dapil Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, Banten I, dan daerah pemilihan lainnya menjadi bagian dari kelompok ini.
Pengelompokkan setiap daerah pemilihan dalam bangunan tipologi jumlah pemilih dan derajat antusiasme memilih tidak hanya bermanfaat dalam memahami corak demokrasi di negeri ini. Dengan analisis lebih lanjut, bangunan tipologi demikian signifikan menggambarkan dinamika kekuatan politik yang saling bersaing dalam penguasaan wilayah.
Salah satu yang menjadi penting diungkapkan, apa implikasi terbangunnya empat kategorisasi pengelompokkan daerah pemilihan tersebut? Dalam kerangka evaluasi politik pemilu, siapa saja aktor politik (calon presiden) dan partai politik yang berhasil menguasai masing-masing kategori wilayah? Dengan pemetaan geopolitik, dapat pula ditentukan pada kategori wilayah mana yang menjadi kunci penentu kemenangan pada pemilu lalu, yang sekaligus juga dapat menjadi strategi rujukan bagi Pemilu 2019 mendatang (Bersambung)/(Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).