JAKARTA, KOMPAS — Peralihan pembelian gula petani menjadi tebu berlaku pada musim giling 2019. Sistem ini dapat menguntungkan petani tebu apabila disertai kebijakan yang berorientasikan kesejahteraan petani.
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (Persero) Holding atau PTPN Holding Dolly P Pulungan saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/2/2019), mengatakan, pihaknya telah menyiapkan dana Rp 4,2 triliun untuk beli putus tebu petani pada musim giling tahun ini. Pada 2019, musim giling tebu akan jatuh pada Mei-Juni.
”Dana itu dapat membeli 8,3 juta ton tebu,” ucap Dolly.
Selama ini, pembelian dari petani adalah berupa gula hasil gilingan pabrik. Sebaliknya dengan mekanisme sistem beli putus, perusahaan pabrik gula langsung membayar tebu dari petani.
Dengan sistem beli putus, Dolly menargetkan harga jual gula di hilir dapat mencapai Rp 9.700 per kilogram (kg). Tantangannya ialah persaingan dengan pabrik gula swasta dalam membeli tebu petani.
Meskipun demikian, Dolly optimistis PTPN Holding dapat memproduksi gula sebanyak 1,3 juta ton pada 2019. Optimisme itu didasari kerja sama berupa pemberian bibit dan pupuk dari PTPN kepada petani plasma.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil mengapresiasi langkah penyerapan dengan sistem beli putus tebu. ”Petani tidak perlu lagi memikirkan harga gula dan rendemen pabrik,” ucapnya saat dihubungi, Rabu.
Di tingkat petani, Arum mengharapkan pabrik gula dapat membeli tebu di angka Rp 700-Rp 1.000 per kg. Saat ini, biaya produksi tebu berkisar Rp 50 juta per hektar dan angka produksinya sekitar 70-80 ton per hektar.
Meski demikian, Arum berpendapat, sistem beli putus tebu itu akan menuntut kekuatan modal pabrik gula. Dia berharap pabrik gula memiliki modal untuk menopang penyerapan tebu petani.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi menilai, secara umum langkah penyerapan dengan sistem beli putus tebu sudah tepat. ”Sistem ini membuat petani benar-benar menerima pembayaran atas tebunya, tidak lagi harus menanggung tingkat rendemen rendah yang membuat pabrik tidak efisien,” tuturnya.
Sistem beli putus tebu, menurut Bayu, juga akan menjadi mekanisme seleksi alam bagi pabrik gula nasional sehingga jumlahnya dapat mengerucut menjadi lebih rasional. Hal itu dapat terjadi karena adanya persaingan harga pembelian tebu antarpabrik gula, baik swasta maupun badan usaha milik negara.
Persaingan tersebut berimbas pada fluktuasi harga tebu dan gula. Dalam hal ini, Bayu berpendapat, pemerintah mesti melindungi industri kecil dan menengah yang bergantung pada gula.
Selain itu, Bayu menambahkan, sistem beli putus membuat petani dan pabrik gula tak lagi berada dalam satu sistem perindustrian. Hal itu dapat berimbas pada pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibebankan kepada petani. Dia berharap pemerintah memiliki kebijakan agar pengenaan PPN tidak mengoreksi harga di tingkat petani.