TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Pemuka agama dan pimpinan daerah di Tangerang Selatan, Banten, menolak tempat ibadah dijadikan tempat kampanye politik. Deklarasi ini bertujuan agar Pemilu 2019 berjalan dengan baik tanpa berdampak negatif terhadap relasi sosial di masyarakat.
Hal ini mengemuka dalam acara Deklarasi Sarana Ibadah Tidak Boleh Digunakan untuk Kampanye, di Gereja Katolik Santo Laurensius, Alam Sutera, Serpong Utara, Tangerang Selatan, Kamis (21/2/2019).
Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Airin Rachmi Diany, Kepala Kepolisian Resor Tangsel Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan, Komandan Kodim 0506 Tangerang Letnan Kolonel (Inf) Faisol Izzudin Karimi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangsel Bambang Dwitoro, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tangsel Muhamad Acep, Kepala Kantor Kementerian Agama Tangsel Abdul Rojak, dan sejumlah pemuka agama.
Airin mengatakan, suasana di Tangsel mulai ”panas” berkait pemilu yang akan memasuki puncaknya pada 17 April 2019. Perbedaan pilihan politik mulai menajam dan masuk ruang ibadah.
”Ibu-ibu yang biasa datang ke majelis taklim mohon maaf karena merasa ustazahnya berbeda pilihan politik, jadi tidak ikut pengajian. Ini terasa betul sekarang. Mari kita kembali guyub,” ujar Airin.
Airin menuturkan pengalamannya dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015. Ketika KPU menyatakan Airin sebagai wali kota terpilih, konsolidasi kembali tingkat elite sudah selesai dilakukan.
Akan tetapi, para pendukung di tingkat akar rumput ternyata masih mengalami gesekan-gesekan. ”Siapa pun pilihan kita, silakan ditentukan pada 17 April mendatang. Setelah itu, kita fokus lagi pada pekerjaan masing-masing,” kata Airin.
Abdul Rojak menambahkan, rumah ibadah memiliki tiga fungsi, yakni penanda eksistensi agama, tempat belajar agama, dan berkomunikasi dengan Tuhan. Oleh karena itu, rumah ibadah harus steril dari kepentingan politik.
”Ini harus sama-sama kita jaga. Soalnya banyak kontestan pemilu yang demen (suka) sama rumah ibadah karena tempat ini ramai dikunjungi umat. Dengan deklarasi ini, mudah-mudahan semua tempat ibadah di Tangsel terbebas dari kampanye politik,” ucapnya.
Rojak melaporkan, sebanyak 600 rumah ibadah di Tangsel sudah dipasang baliho bertuliskan ”Deklarasi Sarana Ibadah Tidak Boleh Digunakan untuk Kampanye”.
”Sebelum deklarasi, kami sudah menyosialisasikan hal ini di tempat ibadah. Mereka semua mendukung,” katanya. Deklarasi serupa akan dilaksanakan di Masjid Nur Asmaul Husna, Alam Sutera, Serpong Utara, Tangsel.
Ketua Paruman Walaka Parisada Hindu Dharma Indonesia Tangsel Ida Bagus Ketut Ananta menyatakan, tempat ibadah harus netral dalam Pemilu 2019. Ketika rumah ibadah menjadi panggung kampanye politik, hal itu akan menurunkan kesucian agama.
”Saat bicara agama, kita tidak lagi berpatokan pada nalar, tapi keyakinan. Ketika ini dicampurkan dengan kampanye politik, umat akan terpecah,” ujar Ananta.
Anggota Dewan Gereja Katolik Santo Laurensius,Tommy Budyanto, menyambut baik deklarasi bersama ini. Hal ini akan berkontribusi dalam menciptakan pemilu damai.
Tommy menuturkan, sejumlah kontestan dan tim sukses pemilu beberapa kali mendatangi pengurus gereja. Namun, pengurus gereja tegas mengatakan rumah ibadah tidak boleh diseret untuk kepentingan kampanye politik.
”Kami hanya menyarankan umat Katolik untuk menggunakan hak pilih di pemilu mendatang. Soal akan memilih siapa, kami serahkan kepada individu masing-masing,” kata Tommy.
Terus memantau
Muhamad Acep menjelaskan, Bawaslu Tangsel akan terus memantau potensi pelanggaran kampanye yang dilakukan kontestan pemilu di rumah ibadah. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, unsur-unsur kampanye terdiri dari menyampaikan visi dan misi, menyampaikan citra diri, mengajak orang untuk memilih, serta menggunakan atribut kampanye.
Dihubungi secara terpisah, pengamat politik sekaligus peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menyebutkan, tempat ibadah, masjid, misalnya, telah menjadi ruang publik yang paling agresif dalam menyampaikan pesan politik pasangan calon tertentu.
Pemilu dinarasikan sebagai perang antara kebaikan melawan kejahatan. Padahal, lanjutnya, pemilu adalah pesta demokrasi yang harus disikapi secara rasional. ”Pada pemilu sekarang, kita serasa kembali ke Abad Pertengahan,” katanya.
Adi menambahkan, deklarasi di Tangsel ini diharapkan semakin menegaskan peraturan pemilu yang memang melarang kampanye politik di tempat ibadah. Namun, hal ini dinilai tidak cukup.
”Harus ada upaya serius untuk menjelaskan kepada kontestan dan tim sukses masing-masing bahwa kampanye politik tidak boleh memolitisasi agama,” ujar Adi. (INSAN ALFAJRI)