Tentukan Produk Ekspor
JAKARTA, KOMPAS-- Langkah dan kebijakan untuk mendukung daya saing ekspor nasional diapresiasi. Rencana pemerintah merelaksasi Pajak Penghasilan impor barang konsumsi untuk keperluan produksi yang diekspor, ditanggapi positif.
Namun, pelaksanaan kebijakan itu hendaknya diawasi ketat agar penerapannya tepat. Termasuk, pengawasan agar produksinya benar-benar diekspor, bukan untuk dipasarkan di dalam negeri.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono menyampaikan hal itu, terkait rencana pemerintah merelaksasi aturan Pajak Penghasilan (PPh) impor. Insentif diberikan kepada pelaku usaha yang mengimpor untuk tujuan diekspor kembali.
Relaksasi ini terkait Peraturan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2018 Perubahan Atas PMK Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemungutan PPh Impor Pasal 22. Sebanyak 1.147 barang impor dinaikkan tarifnya, dengan kisaran 7,5-10 persen. Sebagian besar berupa barang konsumsi.
Handito menambahkan, selama ini ada kekhawatiran kawasan berikat di berbagai daerah yang bukan daerah produksi berpotensi disalahgunakan. Oleh karena itu, pemerintah dan dunia usaha perlu membangun strategi besar untuk meningkatkan ekspor.
"Salah satu kebutuhan adalah kawasan ekonomi khusus yang sifatnya untuk ekspor. Model seperti Batam dan kawasan besar lain yang dulu dibangun untuk ekspor seharusnya dioptimalkan," katanya di Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Keberadaan kawasan yang khusus disiapkan untuk ekspor itu diyakini memudahkan dan mengefektifkan penerapan kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor, berikut pengawasannya.
"Hal yang juga penting saat ini, bukan hanya menentukan impor apa yang akan dimudahkan untuk meningkatkan ekspor, tetapi produk unggulan apa yang akan ditingkatkan ekspornya," ujar Handito.
Diawali dengan memetakan produk-produk unggulan ekspor, selanjutnya berbagai upaya bisa dilakukan untuk mendukung kinerja ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan 2018 defisit 8,496 miliar dollar AS.
Adapun neraca perdagangan Indonesia per Januari 2019 defisit 1,159 miliar dollar AS. Baik neraca migas maupun nonmigas defisit, yang masing-masing 454,8 miliar dollar AS dan 704,7 miliar dollar AS.
Pada Januari 2019, ekspor Indonesia sebesar 13,869 miliar dollar AS, lebih kecil dari impor yang sebesar 15,028 miliar dollar AS. Sekitar 76,21 persen impor berupa bahan baku/penolong. Sisanya berupa barang modal (15,66 persen) dan barang konsumsi (8,13 persen).
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah mendorong industri manufaktur, terutama yang kelebihan kapasitas, untuk meningkatkan ekspor. Menurut data Kemenperin, ekspor industri pengolahan nonmigas meningkat dalam empat tahun terakhir. Nilai ekspor produk manufaktur naik dari 108,6 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 110,5 miliar dollar AS pada 2016. Pada 2017, ekspor nonmigas 125,1 miliar dollar AS dan meningkat menjadi 130 miliar dollar AS pada 2018.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman, ada potensi meningkatkan ekspor dari sektor makanan dan minuman. Akan tetapi, ada tantangan yang mesti dihadapi untuk mengoptimalkan peluang itu.
Tantangan itu antara lain bea masuk yang tinggi di beberapa negara tujuan ekspor potensial, di antaranya Afrika dan Amerika Latin.
Pajak pariwisata
Relaksasi PPh barang impor bagi pengekspor disiapkan pemerintah untuk mendorong ekspor. Akan tetapi, di sektor pariwisata, kebijakan perpajakan pemerintah dinilai belum mendukung sektor itu. Sebab, selama ini aturan pengenaan pajak untuk pengembangan rumah inap disamakan dengan hotel berbintang. Kondisi ini bisa melemahkan daya saing pemain lokal.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia Haula Rosdiana menyampaikan, pelaku usaha memang bisa dikenai pajak berganda karena basis pungutan berdasarkan konsumsi, pendapatan, dan kekayaan.
Selama ini, lanjut Haula, pemilik rumah inap di desa wisata setidaknya menanggung empat jenis pajak daerah, yaitu pajak hotel maksimal 10 persen, pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan dan perdesaan (PBB-P2), pajak penerangan jalan, serta pajak air tanah. Mereka juga masih harus membayar pajak usaha mikro kecil menengah (UMKM) berupa PPh 0,5 persen final.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata Kementerian Pariwisata Anneke Prasyanti mengatakan, pemerintah menargetkan 10.000 rumah inap pada 2017-2019. (CAS/KRN)