JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meningkatkan alokasi subsidi tahun ini sebesar 43,57 persen dibandingkan pagu Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2018 menjadi Rp 224,3 triliun. Untuk itu, subsidi mesti dikelola lebih efektif agar utang subsidi ke badan usaha milik negara tidak semakin membebani APBN.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani kepada Kompas, Jumat (22/2/2019), mengatakan, alokasi subsidi dalam APBN 2019 mengantisipasi perubahan asumsi makro, terutama harga minyak mentah. Kendati fluktuasi harga komoditas global diperkirakan tidak setinggi tahun lalu, kewaspadaan tetap ditingkatkan karena ketidakpastian ekonomi masih tinggi.
”Nanti akan dipantau secara berkala semua indikator yang memengaruhi, terutama subsidi energi, serta terus memperkuat efektivitas dan efisiensi penyalurannya,” kata Askolani.
Sebelumnya, realisasi subsidi pada 2018 sebesar 138,76 persen dari pagu APBN menjadi Rp 216,77 triliun. Lonjakan subsidi itu disebabkan pelemahan nilai tukar rupiah yang pernah mencapai Rp 15.300 per dollar AS serta peningkatan harga minyak mentah jenis Brent ke level 80 dollar AS per barel. Pemerintah juga meningkatkan subsidi solar dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter.
Berkaca pada situasi tahun lalu, Kementerian Keuangan meningkatkan alokasi subsidi dalam APBN 2019 sebesar 43,57 persen dari pagu APBN 2018 yang sebesar Rp 156,23 triliun. Tahun ini, anggaran subsidi mencapai Rp 224,3 triliun untuk subsidi energi Rp 160 triliun dan subsidi nonenergi Rp 64,3 triliun.
Subsidi energi untuk bahan bakar minyak sebesar Rp 100,7 triliun dan listrik Rp 59,3 triliun. Sementara itu, subsidi nonenergi untuk pupuk Rp 29,5 triliun, bunga kredit permodalan UMKM dan kredit usaha rakyat Rp 16,7 triliun, pajak industri dalam negeri Rp 11,4 triliun, serta kendaraan layanan publik (PSO) Rp 6,8 triliun.
Menurut Askolani, kenaikan anggaran subsidi tidak berkaitan dengan tahun politik. Pemerintah akan memantau berbagai indikator yang memengaruhi subsidi secara berkala. Kebijakan subsidi diarahkan lebih tepat sasaran untuk membantu penduduk miskin, mendukung pengendalian inflasi, mempertahankan daya beli, dan meningkatkan produksi pertanian.
Kenaikan anggaran subsidi tidak berkaitan dengan tahun politik.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan juga harus membayar utang subsidi kepada tiga badan usaha milik negara. Askolani merinci, utang subsidi ke PT Pertamina lebih dari Rp 10 triliun, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) berkisar Rp 2 triliun-Rp 3 triliun, dan PT Pupuk Kaltim Rp 6 triliun-Rp 7 triliun. Pembayaran utang subsidi akan dilakukan tahun ini, tetapi belum dipastikan waktunya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, peningkatan alokasi subsidi mesti dibarengi tata kelola dan penyaluran yang lebih efektif agar utang subsidi tidak semakin membengkak. Salah satu yang mesti diperbaiki pemerintah adalah penyaluran elpiji 3 kilogram dari skema terbuka menjadi tertutup.
Untuk mencapai tata kelola yang efektif, pemerintah mesti memiliki basis data yang kuat. Kemajuan teknologi informasi bisa membantu penyaluran subsidi lebih efektif karena transaksi bisa dilakukan secara elektronik. Alur penyaluran dan penerima subsidi akan jelas terpetakan hingga daerah terpencil, misalnya, untuk program subsidi pupuk.
”Subsidi bengkak berarti penerima subsidi besar, tetapi jumlah penerima sulit dikurangi. Untuk itu, basis data penyaluran penting untuk memastikan tidak dimanfaatkan oleh segelintir orang,” kata Rusli.
Subsidi bengkak berarti penerima subsidi besar, tetapi jumlah penerima sulit dikurangi. Untuk itu, basis data penyaluran penting untuk memastikan tidak dimanfaatkan oleh segelintir orang.
Situasi global
Ketidakpastian ekonomi global tak hanya berdampak pada kenaikan subsidi energi, tetapi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Realisasi PNBP pada Januari 2019 sebesar Rp 18,3 triliun lebih rendah dari Januari 2018 yang mencapai Rp 19,1 triliun. Salah satu penyebabnya ekspor komoditas melambat, seperti batubara, sawit, dan minyak mentah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menuturkan, risiko ketidakpastian ekonomi global bisa memengaruhi kinerja APBN melalui kurs rupiah, suku bunga, harga minyak, dan kinerja ekspor. Oleh karena itu, kewaspadaan selalu ditingkatkan kendati tekanan global terhadap perekonomian domestik diperkirakan tidak sebesar tahun lalu.
”Kami akan pantau secara berkelanjutan dan sampaikan kondisinya. Kalau pajak terkumpul, berarti kegiatan ekonomi masih berlangsung,” kata Suahasil.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Langkah yang sama dilakukan Bank Dunia dari 3 persen menjadi 2,9 persen.
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju diperkirakan melambat dari 2,2 persen tahun lalu menjadi 2 persen tahun ini. Sementara di negara-negara berkembang ekonomi diperkirakan tumbuh 4,2 persen atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang 4,7 persen.