ASN Koruptor Belum Dipecat, Negara Rugi Rp 6 Miliar Per Bulan
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch memperhitungkan potensi kerugian negara jika tidak segera memproses pemecatan terhadap sekian ribu aparatur sipil negara terpidana kasus korupsi. Pejabat Pembina Kepegawaian diharapkan tegas dalam mempercepat pemecatan aparatur bermasalah itu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, saat dihubungi Jumat (22/2/2019), di Jakarta, mengatakan, negara berpotensi rugi sekitar Rp 6 miliar per bulan atau Rp 72 miliar per tahun. Hal itu karena pemerintah masih menggaji ribuan aparatur sipil negara (ASN) yang telah diputus hukum berkekuatan tetap atau inkrah atas tindak pidana korupsi.
Perhitungan itu memakai jumlah laporan ASN koruptor yang belum dipecat sampai dengan pertengahan Januari 2019, yaitu 1.466 orang. Berdasarkan perhitungan moderat dengan gaji pokok Rp 3,5 juta per bulan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Kenaikan Gaji ASN, didapat angka Rp 6,5 miliar per bulan.
”Dari perhitungan itu, kami coba pertanyakan ini kepada Badan Pemeriksa Keuangan agar mereka melakukan perhitungan kerugian negara,” kata Wana. Permohonan perhitungan kerugian negara itu disampaikan ICW kepada BPK di Jakarta pada Rabu (20/2/2019).
Selain ke BPK, ICW juga akan berencana mendatangi Mahkamah Agung agar pengadilan memberikan surat putusan terhadap ASN terpidana korupsi ke instansi terkait serta Kementerian Dalam Negeri untuk mendesak percepatan pemecatan ASN koruptor.
Namun, titik berat proses pemecatan ASN permasalahan, menurut Wana, ada pada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). ”PPK kalau di daerah itu kepala daerah, di pusat bisa menteri atau sekjen. Mereka yang berwenang melakukan pemecatan,” kata Wana.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (21/2/2019) mengakui proses pemecatan aparatur yang korup tersendat di PPK. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003, PPK berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Bima mengatakan, PPK di berbagai instansi kerap ragu mengeluarkan surat pemberhentian karena batas vonis ASN terpidana korupsi yang ditetapkan pengadilan sudah lewat. Selain itu, PPK juga takut dimintai ganti rugi karena masih menyalurkan gaji ke ASN terpidana korupsi.
Oleh karena itu, aturan teknis pemecatan oleh PPK akan dibuat dalam bentuk peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB). ”Akan ada follow up (tindak lanjut) berupa keputusan untuk penyelesaiannya. Masih dibuatkan drafnya. Sesegera mungkin selesai,” kata Bima.
Menurut data terbaru dari BKN, hingga 21 Februari 2019, dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, masih ada 1.785 ASN yang belum diberhentikan dan mendapatkan gaji dari negara.
Tenggat
Asisten Deputi Pembinaan Integritas dan Penegakan Disiplin Sumber Daya Manusia Aparatur Kemenpan dan RB Bambang Dayanto Sumarsono, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, isi dari Peraturan Kemenpan dan RB itu nantinya akan mencakup tiga hal (Kompas, 21/2/2019).
Peraturan Kemenpan dan RB itu antara lain berisi perpanjangan tenggat pemecatan ASN koruptor sampai dengan 31 Maret 2019. Peraturan Kemenpan dan RB juga akan mengatur pemecatan terhitung mulai tanggal surat keputusan dan tidak adanya klausul ganti rugi gaji yang telah dibayarkan kepada ASN terpidana korupsi.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan tenggat pemecatan ASN terpidana korupsi sampai dengan akhir 2018. Penetapan itu dibuat berdasarkan Surat Keputusan Bersama yang dibuat Kemendagri, Kemenpan dan RB, dan BKN pada 13 September 2018.
Penetapan dibuat untuk mempertegas Pasal 87 Ayat 4 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal itu menyatakan, ASN yang telah divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi, sesuai dengan Pasal 3 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dapat diberhentikan dengan tidak hormat.
Ketentuan itu berlaku jika ASN telah memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, yaitu korupsi yang dilakukan ASN berhubungan dengan jabatan dan telah ada putusan berkekuatan hukum tetap yang ditetapkan hakim di pengadilan.