JAKARTA, KOMPAS — Ekspor yang melambat disebabkan berbagai faktor, antara lain persoalan pajak. Namun, faktor lain yang tak kalah berpengaruh adalah kondisi perekonomian global.
Dana Moneter Internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini 3,5 persen, sedangkan Bank Dunia memperkirakan 2,9 persen.
”Dalam kondisi saat ini, hanya negara-negara yang memiliki daya saing sangat kuat saja yang bisa tumbuh tinggi ekspornya,” kata Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal di Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Ia mencontohkan, faktor utama penekan ekspor sawit adalah pelemahan permintaan global akibat perang dagang dan kondisi ekonomi negara tujuan ekspor.
Di sisi lain, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) turun. Namun, penurunan ini bukan hanya akibat pertumbuhan restitusi, melainkan juga akibat pelemahan konsumsi dan produksi. Pada Januari 2019, konsumsi swasta dan rumah tangga terindikasi melemah. Hal ini ditunjukkan melalui penurunan porsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi serta peningkatan cicilan dan tabungan.
Sementara berdasarkan data Kementerian Keuangan, pertumbuhan restitusi PPN belum mendorong pertumbuhan ekspor secara signifikan.
Restitusi PPN yang per Januari 2017 sebesar Rp 10,2 triliun tumbuh 14,1 persen menjadi Rp 11,6 triliun pada Januari 2018. Pada Januari 2019, restitusi PPN mencapai Rp 16,4 triliun atau tumbuh 46,66 persen dibandingkan dengan Januari 2018.
Mengutip data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor pada 2018 yang sebesar 180,06 miliar dollar AS hanya tumbuh 6,65 persen dibandingkan dengan 2017. Bahkan, pertumbuhan ekspor dua dari lima subsektor utama penerima restitusi melambat, yaitu industri sawit dan logam dasar.
Ekspor industri sawit turun dari 22,97 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 20,34 miliar dollar AS pada 2018. Adapun ekspor industri logam dasar turun dari 121,7 juta dollar AS pada 2017 menjadi 117,3 juta dollar AS pada 2018.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi global semakin nyata. Hampir semua ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia tumbuh melambat, kecuali Amerika Serikat.
”Pelambatan ekonomi ini berdampak pada kinerja perdagangan global. Akibatnya, ekspor domestik menghadapi tantangan,” katanya.
Untuk mendorong ekspor, lanjut Sri Mulyani, pemerintah memberikan berbagai fasilitas perpajakan, salah satunya melalui kebijakan percepatan restitusi. Realisasi restitusi yang mencapai 40,66 persen pada Januari 2019 merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan layanan bagi dunia usaha. Restitusi merupakan apresiasi terhadap wajib pajak patuh dan bereputasi baik.
”Fasilitas restitusi yang kami lakukan di bidang pajak untuk membuat dunia usaha semakin nyaman,” katanya.
Restitusi adalah pengembalian atas kelebihan pajak yang telah dibayarkan wajib pajak. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dipertahankan
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam jumpa pers seusai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Kamis, menyampaikan, kebijakan suku bunga acuan BI tahun ini mempertimbangkan stabilitas pasar keuangan domestik dalam menarik modal asing. Sikap ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan defisit transaksi berjalan.
”Kebijakan suku bunga acuan tetap fokus untuk stabilitas eksternal. Aturan makroprudensial akan dilonggarkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mendorong pembiayaan ekonomi,” kata Perry.
Untuk itu, BI mempertahankan suku bunga acuan 6 persen dalam RDG yang berlangsung pada 20-21 Februari. Tingkat suku bunga acuan saat ini diyakini masih cukup untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan.
RDG BI pada 15 November 2018 menaikkan suku bunga acuan dari 5,75 persen menjadi 6 persen.
Secara terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menuturkan, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan sesuai dengan ekspektasi pasar.
”Hal ini karena ekonomi dalam negeri dan luar negeri yang relatif baik dan kondusif,” ujar Rosan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, tahun lalu ada ekspektasi suku bunga acuan BI dan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat akan naik lagi pada awal 2019. ”Dengan mempertahankan, berarti bagus, sehingga tidak menambah beban biaya modal,” kata Adhi. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO)