NEW DELHI, KOMPAS — Kementerian Perdagangan berupaya melobi India untuk menurunkan tarif masuk produk turunan minyak kelapa sawit Indonesia. Perbedaan bea masuk dengan produk serupa dari Malaysia mulai awal tahun ini dinilai bakal menekan ekspor Indonesia ke India lebih dalam di masa depan.
Selain melalui kesepakatan perdagangan ASEAN-India, upaya meningkatkan perdagangan ditempuh melalui diplomasi bilateral serta kerja sama antarpelaku usaha kedua negara.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sela-sela Pameran dan Pertemuan India-ASEAN Ke-4 di New Delhi, India, Kamis (21/2/2019), menyatakan, tanpa upaya ekstra, penurunan ekspor produk turunan minyak sawit mentah (CPO) ke India akan lebih tajam.
India merupakan negara utama pasar ekspor sawit Indonesia. Menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor CPO dan produk turunan CPO Indonesia ke India mencapai 6,71 juta ton tahun lalu. Angka itu turun sekitar 12 persen dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 7,63 juta ton.
Penurunan tersebut terutama dipicu keputusan India menaikkan bea masuk CPO dan produk turunannya. Pada 2018, India menaikkan bea masuk CPO dari 30 persen menjadi 44 persen, sementara bea masuk produk turunannya naik dari 40 persen menjadi 54 persen. Kebijakan itu dinilai sebagai upaya India melindungi produksi minyak nabatinya serta mengatasi defisit perdagangan.
Ekspor sawit Indonesia ke India berpotensi tertekan lebih dalam lagi tahun ini.
Berdasarkan data di laman Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan RI-India surplus 10,035 miliar dollar AS pada 2017. Pada 2018, surplus Indonesia berkurang menjadi 8,708 miliar dollar AS.
Ekspor sawit Indonesia ke India berpotensi tertekan lebih dalam lagi tahun ini. Sebab, produk Indonesia semakin kalah bersaing dengan produk Malaysia yang dikenai bea masuk lebih rendah. Malaysia adalah produsen sawit yang menjadi kompetitor utama Indonesia.
India menurunkan bea masuk produk minyak kelapa sawit olahan (refined, bleached, and deodorized) asal Malaysia dari 54 persen menjadi 45 persen mulai 2019. Penurunan itu sesuai perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif kedua negara (India Malaysia Comprehensive Economic Cooperation).
Enggartiasto menambahkan, pihaknya telah beberapa kali berbicara dengan Pemerintah India terkait bea masuk CPO dan produk turunannya. Namun, India yang tengah mengatasi defisit neraca perdagangan diyakini tidak akan dengan mudah mengikuti permintaan Indonesia. Oleh karena itu, RI menjajaki kemungkinan mengalihkan beberapa komoditas impor Indonesia, seperti gula mentah dari Thailand dan Australia ke India.
Misi dagang
Dalam kesempatan itu, Enggartiasto memimpin delegasi misi dagang Indonesia ke India pada 21-22 Februari 2019. Sebanyak 28 perusahaan dan 37 pelaku usaha ikut serta dalam misi meningkatkan neraca dagang dan hubungan ekonomi Indonesia-India tersebut. ”India tertarik dengan beberapa produk asal Indonesia. Ini kesempatan bagi pelaku usaha untuk memasarkan produknya,” ujarnya.
Di sela-sela kegiatan itu, Indonesia menggelar forum bisnis bertajuk ”Indonesia Sustainable Palm Oil” serta penjajakan kerja sama antarpelaku usaha Indonesia dan India. Hadir dalam forum itu, antara lain, Duta Besar Indonesia untuk India Sidharto Reza Suryodipuro serta panelis dari Gapki, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, serta Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi).
Lobi pemerintah Indonesia diharapkan melonggarkan sejumlah hal yang selama ini memengaruhi ekspor kelapa sawit ke India.
Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Laksmi Sidarta menambahkan, selain kerja sama perdagangan di tingkat regional, kalangan pelaku usaha sawit berharap Pemerintah Indonesia berupaya mengatasi hambatan ekspor melalui kerja sama bilateral. Pemerintah dan pelaku usaha bisa menggali kerja sama lebih jauh, antara lain dengan mengedepankan kedekatan budaya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Masyarakat Sawit Indonesia Derom Bangun berharap lobi Pemerintah Indonesia akan melonggarkan sejumlah hal yang selama ini turut memengaruhi ekspor minyak kelapa sawit ke India. Salah satunya, pembedaan bea masuk sawit antara Indonesia dan Malaysia. Padahal, India adalah salah satu pasar sawit utama Indonesia.
Selain lobi antarpemerintah, usaha mendekati pasar India juga ditempuh melalui jalur bisnis. Pada Desember 2018, Kementerian Koordinator Perekonomian mempertemukan DMSI dengan The Solvent Extractors’ Association of India (SEA) dan Solidaridad Network Asia Limited di Jakarta. Sebagai asosiasi pelaku usaha, SEA dinilai memiliki pengaruh terhadap Pemerintah India.