Pemilu 2019 tinggal hitungan bulan. Berbagai kalangan mengantisipasi kampanye politik yang kebablasan, termasuk yang merembes ke rumah ibadah.
Pada Kamis (21/2/2019) kemarin, pemuka agama dan sejumlah pejabat di Tangerang Selatan, Banten, mendeklarasikan larangan rumah ibadah dijadikan tempat kampanye politik. Ini bertujuan agar pesta demokrasi lima tahunan itu berlangsung damai.
Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany menangkap adanya gelagat tersebut. Suasana di Tangsel mulai ”panas” berkait pemilu yang akan memasuki puncaknya pada 17 April 2019. Perbedaan pilihan politik mulai menajam dan masuk ruang ibadah.
Gelagat ini terbaca juga dari analisis pengamat politik sekaligus peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno. Menurut dia, rumah ibadah, masjid, misalnya, telah menjadi ruang publik yang paling masif digunakan dalam menyampaikan pesan politik pasangan calon tertentu.
Pesan deklarasi itu sampai juga ke pengurus Masjid Agung Al Jihad, Ciputat, Tangsel. Masjid yang dibangun di atas tanah seluas 3.100 meter persegi ini sering dikunjungi politisi. ”Masjid ini jemaahnya banyak, makanya banyak tokoh politik yang berkunjung,” kata pengurus masjid, Ramzy Nasroen, Jumat (22/2/2019).
Sebagai gambaran, masjid ini bisa menampung sekitar 1.000 anggota jemaah ketika shalat Jumat. Belum lagi ratusan jemaah yang berkumpul dalam pengajian setiap Minggu pagi.
Pengurus pun menyatukan suara. Betapa pun banyak tawaran yang datang, mereka tetap satu bahasa: masjid adalah rumah ibadah yang mengkaji soal agama, yang lain tidak. ”Kami tidak ingin masjid ini ’berwarna’,” kata Ramzy.
Komentar itu merujuk pada indikasi bahwa masjid ataupun pengurus tidak boleh diasosiasikan dengan kontestan tertentu pada pemilu mendatang. Sudah tak terbilang banyaknya calon legislatif ataupun tim sukses yang datang.
”Ada yang membawa kalender, kartu nama, dan lain-lain. Barang itu kami terima, tapi tak ada yang kami pasang. Kalau mau bantu silakan. Hitam putih saja modelnya,” kata Ramzy.
Pengurus melalui Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), kata Ramzy, menyeleksi ketat calon penceramah. Pengurus punya catatan tentang penceramah mana saja yang berafiliasi dengan kontestan-kontestan tertentu pada pemilu mendatang. ”Kalau ada indikasi ke arah sana, kami enggak pake dia,” kata Ramzy.
Ramzy bercerita, suatu masa politisi senior Akbar Tandjung pernah berkunjung ke masjid ini. Kedua orang ini berkawan dekat. Ramzy satu angkatan dengan Akbar Tandjung di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Mereka juga sama-sama pernah menjadi aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam.
”Saya sempat berseloroh sama Akbar, ’Lu kalau bantu, ya, bantu saja, jangan sampai masjid ini dicat warna kuning’,” kata Ramzy menceritakan selorohnya.
Mencegah wacana ekstrem
Tantangan tak selesai di situ. Beberapa tahun lalu, salah satu organisasi kemasyarakatan berhaluan keras pernah meminta izin untuk berkegiatan di masjid yang pernah diimami Buya Hamka ini. Pengurus organisasi itu meminta izin menggunakan aula masjid untuk pertemuan dan diskusi setiap Rabu.
Waktu itu, Ramzy belum paham materi diskusi yang dibawakan ormas itu. Pada pertengahan 2017, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas tersebut. Organisasi masyarakat ini dinilai menyebarkan paham radikal yang bertentangan dengan Pancasila.
Tak lama, pengurus ditegur oleh Komando Rayon Militer. ”Akhirnya kami bilang ke ormas itu, ’kalau ada diskusi yang aneh-aneh, lebih baik jangan berkegiatan di sini,” kata Ramzy.
Salah satu tantangan penyelenggaraan Pemilu 2019 adalah mensterilkan ruang ibadah dari kampanye politik. Sejumlah rumah ibadah di Tangsel telah berkomitmen terkait hal itu. (INSAN ALFAJI)