MUARO JAMBI, KOMPAS — Penyelesaian konflik lahan masyarakat tiga desa di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, dan pengelola kebun sawit PT Bukit Bintang Sawit mengalami kemunduran. Keputusan penyelesaian yang kerap dijanjikan Bupati Muaro Jambi Masnah Busro kembali gagal, Jumat (22/2/2019).
Masnah malah bermaksud membentuk tim terpadu penyelesaian konflik. Padahal, sepanjang konflik itu berlangsung dari 2007 hingga 2019, sudah berulang kali tim terpadu dibentuk.
Yang terakhir, tim terpadu dibentuk tahun 2017. Meskipun tim yang telah ditunjuk itu turun ke lapangan untuk memverifikasi status kepemilikan lahan, hingga kini hasil kerjanya tak ada hasil.
”Kami akan bentuk tim terpadu,” kata Masnah, Jumat. Sedianya ia berjanji untuk menemui masyarakat dari tiga desa tersebut untuk dipertemukan dengan pihak perusahaan pada Senin. Pertemuan itu bertujuan mengambil solusi konflik antara masyarakat dan perusahaan.
Kami akan bentuk tim terpadu.
Sejak Senin pagi, 200-an warga telah berdatangan dari desanya ke kantor bupati di Sengeti, Muaro Jambi. Namun, masyarakat tidak diperbolehkan bertemu dengan bupati ataupun pihak perusahaan. Aparat keamanan berjaga di depan kantor bupati dan melarang warga masuk, dengan alasan ada pertemuan antara bupati dan pihak manajemen kebun.
Hingga selesainya pertemuan itu, Masnah pun menyatakan belum dapat menemui masyarakat.
Sementara juru bicara PT BBS, Darius, menyatakan mau turut membantu penyelesaian konflik itu. Namun, tim terpadu yang akan turun tangan.
Warga Desa Sogo, Dasminar, mengatakan, masyarakat sudah berulang kali dijanjikan soal penyelesaian konflik lahan itu, tetapi hasilnya selalu nihil. Karena tidak tahan lagi, pekan lalu mereka berunjuk rasa dan menduduki lahan yang dibuka perusahaan menjadi kebun sawit. Pembukaan kebun sawit itu, kata Dasminar, di luar persetujuan masyarakat.
Menurut Sekretaris Desa Sogo, Antoni, desa mereka tidak masuk ke dalam izin lokasi perusahaan yang diberikan Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi. Namun, faktanya di lapangan pembukaan kebun sawit perusahaan merambah hingga ratusan hektar. Hasil pengecekan terbaru oleh Badan Pertanahan Negara menunjukkan, 794 hektar wilayah administrasi Desa Sogo telah berubah menjadi kebun sawit PT BBS.
Manajer Kajian dan Data Walhi Jambi Dwinanto mengatakan, sejak tahun 2008 masyarakat sudah berulang kali melayangkan surat pengaduan ke kepolisian setempat perihal perambahan yang dilakukan perusahaan. Masyarakat pun telah berupaya mencegah aktivitas perusahaan. Namun, karena mengalami intimidasi, masyarakat tak berdaya.
Hingga kini, katanya, masyarakat tidak pernah menerima penggantian rugi dari perusahaan. Karena itu, masyarakat menuntut agar perusahaan mengembalikan lahan.
Namun, Herman dari Humas PT BBS berpendapat wilayah yang dibuka menjadi kebun sawit itu masuk areal desa lainnya, bukan Desa Sogo. Pihaknya malah menyesalkan aksi yang dilakukan masyarakat telah menghambat aktivitas perusahaan. Setidaknya 80 ton buah sawit dipanen setiap hari, tetapi panen harus terhenti selama aksi berjalan.