Berbagai jenis industri bertumbuh di Indonesia. Ada yang bercorak padat karya, padat modal, padat teknologi, maupun kombinasi.
Ditilik dari perannya dalam menyerap tenaga kerja, industri padat karya bernilai penting karena menjawab persoalan pengangguran di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, masih ada sekitar tujuh juta penganggur di Tanah Air pada Agustus 2018. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2018 sebesar 5,34 persen atau lebih lebih rendah dari Agustus 2017 yang sebesar 5,5 persen.
Maka, tak heran jika investasi di sektor riil digadang-gadang untuk menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Apalagi, angkatan kerja baru bertambah setiap tahun, namun tidak semuanya terserap lapangan kerja.
Mengacu pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi Januari-Desember 2018 sebesar Rp 721,3 triliun atau naik 4,1 persen dibandingkan dengan 2017 yang sebesar Rp 692,8 triliun.
Secara kumulatif, serapan tenaga kerja pada Januari- Desember 2018 sebanyak 960.052 orang. Jumlah itu terdiri dari 469.684 orang yang terserap di proyek penanaman modal dalam negeri dan 490.368 orang di proyek penanaman modal asing.
Investasi padat karya diharapkan menyerap tenaga kerja, khususnya di sekitar lokasi usaha. Meski demikian, ada sejumlah faktor yang memengaruhi kelangsungan industri padat karya. Salah satunya, tingkat upah minimum.
Beberapa tahun belakangan, ada kecenderungan pelaku usaha merelokasi industri ke daerah-daerah dengan upah minimum lebih rendah.
Industri sepatu, misalnya, yang selama ini cukup kuat di Banten, bergeser ke sisi timur Banten, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kota-kota satelit juga diperkirakan berkembang seiring pengoperasian pabrik-pabrik sepatu ini.
Sementara, menurut catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia, industri tekstil di Jawa Tengah, seperti di Boyolali, Sukoharjo, dan Solo, ikut berkontribusi pada pertumbuhan sektor industri tekstil pada 2018.
Selain investasi baru, industri tekstil yang berkembang di Jawa Tengah juga merupakan relokasi dari beberapa daerah di Jawa Barat. Relokasi dipicu, terutama, selisih upah minimum. Upah minimum di sejumlah daerah di Jawa Tengah lebih rendah dari upah minimum di Jawa Barat. Selisihnya bisa Rp 1 juta.
Ilustrasinya, dengan selisih upah minimum tersebut, perusahaan yang mempunyai 1.000 pekerja akan dapat menghemat Rp 1 miliar per bulan saat merelokasi usaha ke daerah lain dengan upah minimum yang lebih rendah.
Tentu ada banyak faktor lain di luar upah yang mampu menarik investor industri padat karya untuk menanamkan modal di suatu daerah.
Dunia usaha juga menyebutkan sejumlah faktor itu, antara lain arti penting iklim investasi kondusif, kemudahan perizinan, dan dukungan keamanan.
Tak pelak, upaya menyelesaikan persoalan pengangguran memerlukan peran berbagai pihak. Kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan akan turut menjamin keberlanjutan sektor padat karya. Bagaimanapun, sektor ini masih diandalkan untuk menyerap tenaga kerja. (C Anto Saptowalyono)