”Ngalor Ngidul” Intoleransi di Makam Desa Ngares Kidul
Kubur gundukan tanah itu baru seminggu di pemakaman Ngares Kidul, Gedeg, Mojokerto, Jawa Timur. Di dalamnya bersemayam Nunuk Suartini (63) yang berpulang pada Kamis (14/2/2019). Nisan di kedua sisi makam tidak berbentuk salib yang menyimbolkan keyakinan mendiang, tetapi pipih dengan lekukan pada bagian atas.
Namun, makam itu akan dibongkar dan dipindahkan. Lokasi pemindahan di Taman Pemakaman Umum Kedungsari, Kemlagi, Mojokerto. Lokasi baru tidak terlalu jauh dari pemakaman Islam, satu-satunya pekuburan di Ngares Kidul. Mengapa makam harus dipindah?
Warga Ngares Kidul memprotes keras keberadaan makam mendiang yang dikebumikan di ”tanah wakaf Muslim”. Penolakan sebenarnya sudah muncul saat keluarga mendiang, ananda Novita (37) dan suami Suwoto (72) memperjuangkan agar jenazah yang berpulang pada Kamis pekan lalu itu bisa dimakamkan di Ngares Kidul. Mereka menyadari sebagai satu-satunya warga Kristen di desa itu.
Koordinator Gusdurian Mojokerto Imam Almaliki yang dikonfirmasi dari Surabaya mengatakan, keluarga kemudian meminta izin kepada Kepala Desa Ngares Kidul dan sejumlah warga agar jenazah bisa dikebumikan di pemakaman desa. Ada penolakan. Namun, pertemuan dan negosiasi antara aparatur desa dan warga kemudian membolehkan jenazah Nunuk dimakamkan. Syaratnya, tidak boleh ada prosesi pemakaman menurut keyakinan mendiang dan tidak boleh ada simbol keyakinan almarhumah di makam itu.
Jumat (15/2/2019) siang, jenazah Nunuk dimakamkan. Namun, tak disangka, malam hari sejumlah warga memprotes Kepala Desa Ngares Kidul dan keluarga Nunuk. Protes kembali berulang pada Sabtu atau sehari kemudian. Pada malam minggu, protes itu direspons dan dimusyawarahkan kembali dengan dihadiri petugas Polri, keluarga, kepala desa, warga penolak, dan pendeta GPdI Gempolkrep.
Pertemuan menghasilkan tiga rekomendasi. Keluarga menerima jenazah dipindahkan jika mendapat tanah yang jelas dan layak seperti warga Indonesia pada umumnya. Desa atau pemerintah harus menyediakan pemakaman umum di Ngares Kidul. Jika sudah disediakan lahan makam umum lewat peraturan desa, jenazah bisa kembali dikebumikan di Ngares Kidul.
Untuk itu, makam Nunuk harus dipindahkan terlebih dahulu ke tempat lain. Setelah ada pemakaman umum di Ngares Kidul, mendiang bisa dimakamkan kembali di desa tersebut.
Tahan diri
Kepala Polres Mojokerto Kota Ajun Komisaris Besar Sigit Dany Setiyono yang dikonfirmasi secara terpisah mengatakan, sambil menunggu lokasi dan waktu pemindahan makam, semua pihak jangan memprovokasi apalagi membuat kekacauan.
”Jangan memprovokasi di media sosial,” kata Sigit.
Polri mengklaim situasi di Ngares Kidul tetap kondusif. Masalah dianggap selesai. Jika terjadi perusakan di makam sebelum pemindahan atau kekerasan terhadap keluarga mendiang, pelaku akan dipidanakan.
Ngares Kidul memang masuk wilayah administrasi Kabupaten Mojokerto. Namun, Gedeg tidak masuk wilayah hukum Polres Mojokerto. Gedeg dimasukkan ke wilayah hukum Polres Mojokerto Kota selain tiga kecamatan di Kota Mojokerto, yakni Magersari, Prajurit Kulon, dan Kranggan.
Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi Aan Anshori mengatakan mengapresiasi seluruh pihak yang menegakkan kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warga Ngares Kidul, termasuk dalam hak dimakamkan tanpa pembedaan latar belakang identitas.
”Diskriminasi atas nama apa pun bertentangan dengan seruan Allah yang meminta setiap Muslim bertindak adil (’adl) dan memperlakukan orang lain lebih baik (ihsan),” ujarnya.
Pemerintah Desa Ngares Kidul harus segera menyediakan lahan pemakaman umum bagi warga untuk mencegah penolakan serupa terjadi di masa depan. Pemerintah Kabupaten Mojokerto harus lebih proaktif menjamin hak-hak dasar warga.
Polri juga harus menjamin kesetaraan hukum rakyat dan tidak boleh dipengaruhi oleh sentiment mayoritas-minoritas.
”Selalu diperlukan musyawarah yang mengedepankan asas keadilan dan kesetaraan,” ucap Aan.
Dihubungi secara terpisah, tiga pengajar hak asasi manusia menyampaikan pendapat akademis terkait dengan kasus penolakan pengebumian warga Kristen di Ngares Kidul itu. Mereka adalah Muktiono, dosen dan peneliti pada Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi Universitas Brawijaya; Ahmad Zainul Hamdi, dosen Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel; dan Haidar Adam, dosen dan peneliti Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Universitas Airlangga. Pendapat mereka disajikan dalam tabel.
Muktiono | Ahmad Zainul Hamdi | Haidar Adam |
Pemakaman terhadap seseorang yang beragama bagian dari hak beragama (HAM) terkait dengan ritual. Hak itu tidak bisa dikurangi meski dalam agama ada aspek kolektif. Dalam hal ini, tentu ada ritual yang dipegang oleh kelompok-kelompok penganutnya. Pada prinsipnya, seseorang bisa dimakamkan sesuai kehendak agamanya dan atau kelompok seagamanya. Ada juga masalah eksternal masyarakat. Dari kasus ini, mungkin belum ada kebiasaan untuk memakamkan yang berbeda keyakinan. Penolakan itu saya duga kuat terkait dengan kebiasaan sehingga bukan aturan umum. Tiada aturan umum pemakaman harus dipisahkan. Yang jelas, kejadian ini jadi indikator pemerintah lokal belum mengantisipasi apalagi melindungi hak warga yang beragama berbeda atau minoritas. Ini pernah dialami di tempat lain. Untuk itu, seharusnya ada aspek antisipasi dari sisi aturan dengan menyediakan pemakaman umum, bukan yang eksklusif, sehingga penataan bisa beragam. Jangan sampai masalah ini berulang, apalagi menunggu sampai ada warga minoritas meninggal dunia. Masalah lainnya, apakah penerimaan keluarga benar-benar genuine? Itu dalam tekanan dan negara dalam hal ini seharusnya hadir untuk menjamin hak warganya meski hanya satu orang. Aspek historis pemakaman itu juga harus dilihat dan terkonfirmasi. Apakah benar-benar tanah wakaf Islam dan bisa dibuktikan ada wasiat yang boleh dimakamkan di sana hanya yang Islam? Jika ya, hal itu juga patut dihormati. Namun, catatan kritis secara obyektif juga harus diberikan. | Kasus ini mirip masalah intoleransi di sejumlah tempat. Yang menolak dipengaruhi kelompok intoleransi. Cara kerjanya mirip, bertindak tidak toleran sampai sukses dan mereplikasi di tempat lain. Pola ini nyaris selalu sama. Jika tidak melibatkan kelompok dari luar, ada ”agen-agen” dalam komunitas yang bersuara amat kuat. Mereka akan menyulitkan warga untuk memunculkan resistensi. Sebabnya, perlawanan terhadap isu agama diserang balik sebagai tindakan memusuhi ajaran agama itu. Publik cenderung pasif dan diam, sementara kelompok kecil intoleran kian agresif karena merasa tidak dihalangi. Di sisi lain, aparat keamanan dalam penanganan masalah ini mengedepankan tidak terjadinya konflik sosial. Itu memang bagus, tetapi tak diimbangi dengan cara pandang yang tepat atas hak konstitusional warga. Dengan seakan membiarkan praktik intoleransi, aparatur secara tidak sadar menjadi penopang pelanggaran HAM. Dalam kasus ini, tidak ada ajaran dalam Islam yang melarang pemakaman secara berdampingan dengan umat non-Muslim. Kasus di Ngares Kidul ini lebih kental nuansa politik identitas yang dikembangkan dan dibalut dengan sentimen agama. Ada yang menghendaki intoleransi tetap hidup dan mengancam kohesi sosial yang sudah tercipta. Memang, aparatur daerah harus menyediakan pemakaman umum. Walaupun di suatu desa 100 persen warga memeluk satu agama, penyediaan fasilitas publik termasuk makam umum harus dipenuhi. Hal itu untuk mengantisipasi kedatangan warga lain keyakinan atau perpindahan keyakinan warga setempat. | Kasus ini memprihatinkan. Kehidupan berbangsa dan bernegara belum sampai pada tahap penghormatan terhadap perbedaan. Ada yang belum tuntas. Negara tidak hadir. Pemakaman umum bagian dari fasilitas umum yang harus diberikan oleh negara. Jikalau ada yang meninggal, negara harus menyediakan. Masalah menjadi amat sensitif karena perbedaan keyakinan dan coba dibenturkan oleh sekelompok orang. Apabila sebelumnya sudah ada pemakaman umum, niscaya hal ini tidak terjadi. Kalau masih terjadi bahkan di pemakaman umum, hal itu berarti pelanggaran terhadap HAM. Kehadiran negara hanya dalam mediasi yang tanpa terlihat solusi jangka panjang. Kasus ini berpotensi terjadi di tempat-tempat lain. Dimensi sosial dari kasus ini juga patut diperhatikan. Ada masalah apa dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Mengapa perbedaan keyakinan dipersoalkan dan dibenturkan sehingga menimbulkan masalah. Dalam kasus-kasus seperti ini, negara harus hadir. Segeralah mencari solusi, bahkan intervensi. Pembongkaran makam itu patut disayangkan sebab sebelumnya ada kesepakatan dibolehkan. Kontestasi antaragama juga patut diperhatikan sebab potensi masalahnya ada. Misalnya, suatu kelompok ternyata ”alergi” dengan simbol-simbol kelompok keyakinan lain dengan dalih bisa memengaruhi kadar keimanan. Untuk hal-hal seperti itu, negara harus hadir dan berani. Yang jelas, agar tidak terjadi di tempat lain, pastikan ada pemakaman umum di setiap desa atau dusun. Pemakaman umum adalah ruang kesetaraan warga negara yang telah meninggal dunia. |