Pemilih pindahan pada Pemilu 2019 terkonsentrasi di daerah tertentu. Ini bisa membuat kurangnya surat suara di sejumlah TPS karena surat suara yang disediakan hanya sesuai dengan daftar pemilih tetap, ditambah cadangan sebanyak 2 persen.
JAKARTA, KOMPAS Hasil rapat rekapitulasi daftar pemilih tambahan nasional pada Pemilu 2019, Kamis (21/2/2019), menunjukkan adanya potensi masalah akibat terkonsentrasinya pemilih pindahan di sejumlah wilayah. Payung hukum mendesak dibutuhkan agar suara pemilih pindahan tidak hilang karena surat suara cadangan di tempat pemungutan suara (TPS) bisa tidak mencukupi.
Daftar pemilih tambahan (DPTb) berisi data pemilih yang sudah masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), tetapi mereka memutuskan untuk pindah memilih ke TPS di daerah lain. Pemilih itu harus lebih dahulu mengurus kepindahan sehingga akan dicoret di TPS asal dan dimasukkan ke TPS baru.
Data KPU RI hingga 17 Februari 2019, ada 275.923 pemilih yang mengurus pindah memilih. Mereka tersebar di 87.483 TPS di 30.118 desa/kelurahan, di 5.027 kecamatan, pada 496 kota/kabupaten. Jumlah ini bisa bertambah karena KPU masih melayani pindah memilih hingga maksimal 30 hari sebelum hari pemungutan suara pada 17 April 2019.
”Kami dapat laporan ada kendala. Dari ribuan pemilih masuk DPTb, sebagian bisa diakomodasi, tetapi ada yang belum, sehingga ini bisa mengancam hak pilih mereka di hari pemungutan suara,” kata anggota KPU, Viryan Azis, seusai rapat rekapitulasi DPTb nasional di Gedung KPU di Jakarta.
Persoalan muncul karena pemilih pindahan ini terkonsentrasi di tempat tertentu. KPU mendapat laporan pemilih pindahan ini paling banyak ditemui di sekitar perusahaan perkebunan dan pertambangan yang jumlah pekerjanya ribuan, dan mereka tinggal berjauhan dari TPS di permukiman penduduk. Ada pula konsentrasi pemilih pindahan di lembaga-lembaga pendidikan.
Sebagai contoh, pemilih yang terdaftar di satu TPS adalah 300 orang. Dengan demikian, surat suara cadangan di TPS itu hanya 2 persen dari DPT, atau enam lembar. Namun, berdasarkan data yang masuk dari KPU daerah, jumlah DPTb di wilayah TPS itu berkisar 300-500 orang sehingga mereka berpotensi tak terlayani.
Terkendala UU
Menurut Viryan, belum ada payung hukum sebagai solusi atas masalah ini. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya memberikan kewenangan kepada KPU untuk mencetak surat suara sejumlah DPT ditambah 2 persen surat suara cadangan.
”Pertanyaannya, dari mana surat suaranya? Kami harus berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait mengenai hal ini. KPU tetap berada pada posisi berupaya melindungi hak pilih warga negara,” kata Viryan.
Usulan memindahkan surat suara dari satu TPS ke TPS lain yang kekurangan surat suara sempat muncul, tetapi usulan itu berisiko dan dinilai sensitif karena rawan kecurigaan. ”Secara teknis sulit dilakukan, dan justru bisa menghasilkan masalah baru karena menggeser surat suara merupakan hal yang sensitif. Di sisi lain, surat suara sudah distribusikan,” katanya.
KPU akan menyurati Komisi II DPR untuk berkonsultasi, termasuk dengan pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk mencari solusi atas hal ini.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera yang dihubungi di Jakarta mengatakan, KPU perlu diberi keleluasaan mencetak suara untuk memenuhi kebutuhan DPTb.
DPR dan pemerintah perlu membicarakan hal ini bersama KPU untuk mencari celah hukum yang memungkinkan KPU mencetak suara dan memenuhi hak pilih warga tanpa melanggar UU. Menurut Mardani, rapat konsultasi bisa diadakan tanpa menunggu masa reses DPR berakhir 4 Maret 2019.
Wacana perppu
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, ada beberapa opsi yang ditawarkan sebagai jalan tengah. Pertama, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu itu dapat sekaligus memuat dua hal yang tidak diatur dalam UU Pemilu dan Peraturan KPU.
Pertama, memperbolehkan KPU mencetak surat suara cadangan bagi pemilih di atas batas 2 persen. Kedua, memperbolehkan penggunaan surat keterangan pengganti KTP elektronik untuk memilih pada hari pemungutan suara bagi warga yang belum memiliki KTP-el. Opsi lainnya, jika perppu tidak memungkinkan, maka memakai cadangan surat suara yang tidak digunakan di TPS lain.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan, perppu bisa menjadi salah satu solusi. Namun, pencetakan surat suara tambahan bagi pemilih pindahan ini harus cermat dan dilakukan hati-hati.
”Harus jelas berapa surat suara yang dicetak, jenis surat suara apa saja, untuk berapa orang, dan di TPS mana saja surat suara itu dibutuhkan,” kata Bagja.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas mengatakan, persoalan DPTb ini secara teknis bisa diatasi dengan memobilisasi surat suara yang tak terpakai dari TPS terdekat ke TPS di mana terdapat konsentrasi DPTb. Sebab, tidak di semua TPS partisipasi pemilih mencapai 100 persen. Namun, hal ini juga memerlukan payung hukum yang jelas. (REK/AGE)