Swasta Cenderung Pilih Sistem Bagi Hasil Produksi Gula
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dibandingkan dengan sistem beli putus tebu, perusahaan swasta cenderung memilih sistem bagi hasil produksi gula di pabriknya. Swasta menilai, sistem beli putus tebu bukan solusi meningkatkan kesejahteraan petani melalui harga yang terbentuk.
Dalam sistem beli putus, petani langsung dibayar berdasarkan harga tebu yang dijualnya. Perusahaan harus mengeluarkan uang terlebih dahulu untuk membeli tebu petani di muka.
Pada sistem bagi hasil, petani menyetorkan tebu kepada perusahaan lalu dibayar berdasarkan gula hasil produksi pabrik. Dibandingkan dengan perusahaan pabrik gula, petani mendapatkan 65-66 persen lewat bagi hasil dari produksi tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Agus Pakpahan, seharusnya setiap pemangku kepentingan bersama-sama mengevaluasi sistem bagi hasil yang selama ini berjalan. ”Sistem bagi hasil dapat berhasil jika hubungan antara petani dan pabrik gula harmonis. Ini yang mestinya diselesaikan, bukan beralih ke sistem beli putus tebu,” tuturnya saat dihubungi, Jumat (22/2/2019).
Sistem bagi hasil dapat berhasil jika hubungan antara petani dan pabrik gula harmonis. Ini yang mestinya diselesaikan, bukan beralih ke sistem beli putus tebu.
Terkait rendahnya rendemen dan tidak efisiennya pabrik yang membebani harga gula di tingkat petani saat ini dalam sistem bagi hasil produksi, Agus mengatakan, kedua aspek itu bukan akar masalah.
”Akar masalahnya ada di hubungan antara petani dan pabrik gula. Produksi gula kami pernah meningkat sehingga petani mendapatkan harga yang lebih baik dengan mekanisme dana talangan,” tuturnya.
Agus menambahkan, sistem beli putus tebu menambah komponen biaya yang tidak perlu. Contohnya, biaya transaksional pembelian dan biaya tidak langsung akibat penurunan nilai yang berasal dari gula menjadi tebu.
Penurunan nilai itu disoroti Agus karena peran petani dalam industri menjadi pemasok bahan baku, yakni tebu, dalam rantai produksi. Dengan sistem bagi hasil, petani dinilai sebagai bagian dari industri karena gula hasil produksi yang menjadi acuan harga.
Meskipun mendukung sistem beli putus tebu karena dapat menyejahterakan petani, Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil berharap, perusahaan gula memiliki modal yang kuat dalam menjalankan sistem tersebut.
”Kepentingan pabrik mesti diperhatikan. Sistem beli putus tebu ini akan mengubah sistem keuangan pabrik gula,” ucapnya.
Sebagai solusinya, Arum berpendapat, pemerintah mesti hadir dalam penentuan standar harga pembelian tebu di tingkat petani berdasarkan analisis dari tim independen. Menurut dia, harga yang layak untuk sistem beli putus berkisar Rp 700 per kilogram (kg)-Rp 1.000 per kg.
Kehadiran pemerintah dalam penerapan sistem beli putus tebu ini juga dinilai penting oleh Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi untuk menciptakan persaingan yang sehat dan adil di antara pabrik gula. Alasannya, sistem beli putus tebu berpotensi menimbulkan pabrik gula berebut tebu dan berdampak pada pembentukan harga.
Senada dengan Arum, Bayu juga menyarankan pemerintah menentukan harga referensi pembelian tebu di tingkat petani. ”Kebijakan yang mendukung peningkatan produktivitas juga mesti diperhatikan untuk menambah gairah petani menanam tebu. Periode tanam hingga panen tebu itu memakan waktu 9-10 bulan. Artinya, petani baru dapat penghasilan dalam waktu 9-10 bulan sekali,” tuturnya.
Sementara itu, PT Perkebunan Nusantara (Persero) Holding atau PTPN Holding telah menyiapkan Rp 4,2 triliun untuk membeli 8,3 juta ton tebu sebagai pasokan masa giling pada Mei-Juni 2019. Direktur Operasional PTPN X Aris Toharisman mengatakan, PTPN X sudah menyosialisasikan dan membentuk kontrak dengan petani terkait mekanisme pembayaran dan analisis komponen pembentuk harga dalam sistem beli putus tebu.