JAKARTA, KOMPAS — Generasi milenial diwanti-wanti untuk mewaspadai hipertensi atau tekanan darah tinggi. Pasalnya, penyakit yang dulu identik dengan orangtua itu kini mulai sering ditemukan pada orang yang relatif lebih muda. Menjaga pola hidup sehat dan deteksi dini perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi akibat hipertensi.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Paskariatne Probo Dewi Yamin, di Jakarta, Jumat (22/2/2019), mengatakan, dalam 10 tahun terakhir, tren hipertensi mulai bergeser ke generasi lebih muda. Dari beberapa literatur, tren ini hampir menyeluruh di negara dunia, termasuk Indonesia.
”Studi epidemiologi di Asia pada 2015 menemukan, 7,3 persen kaum milenial (usia 18-39 tahun) terkena hipertensi, sedangkan 23,4 persen termasuk prehipertensi,” kata Paskariatne dalam diskusi media ”Waspadai Hipertensi pada Generasi Milenial” yang diadakan Indonesia Society of Hypertension (InaSH).
Di Indonesia, kasus hipertensi juga mengkhawatirkan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, prevalensi hipertensi pada penduduk usia di atas 18 tahun meningkat drastis. Pada 2013, prevalensi hipertensi sekitar 25,8 persen. Sementara pada 2018 angkanya melonjak menjadi 34,1 persen.
Dokter yang akrab dipanggil Paska ini melanjutkan, pergeseran tren hipertensi ini dipicu oleh gaya hidup tidak sehat. Kalangan milenial semakin kurang melakukan aktivitas fisik. Sementara kebiasaan merokok dan mengonsumsi makanan cepat saji serta faktor risiko lainnya semakin meningkat.
”Faktor psikososial, seperti stres akibat pekerjaan, juga bisa meningkatkan risiko terjadinya hipertensi,” ujar Paska.
Tanpa gejala
Penyakit hipertensi dikenal sebagai pembunuh diam-diam (silent killer). Banyak orang baru baru sadar terkena hipertensi ketika sudah komplikasi. Hipertensi dalam jangka waktu lama bisa memicu penyakit berat, seperti serangan jantung, gangguan ginjal, dan stroke.
”Kalangan milenial kebanyakan baru ketahuan hipertensi saat cek kesehatan. Itu pun jika ada program dari kantor,” ujar Paska.
Pakar hipertensi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Suhardjono, mengatakan, di Indonesia, lebih dari separuh orang yang hipertensi tidak sadar telah terkena penyakit itu. Hampir separuh orang yang sadar terkena hipertensi tidak rutin berobat atau malah tidak berobat sama sekali.
”Separuh dari mereka yang tidak rutin berobat atau tidak berobat itu karena merasa sudah sehat,” kata Suhardjono.
Menurut Suhardjono, perilaku itu mengkhawatirkan. Meskipun gejalanya tidak terasa, hipertensi tidak boleh diabaikan karena sangat berbahaya kalau sudah komplikasi. Oleh sebab itu, Suhardjono pun mengimbau semua pihak agar lebih peduli terhadap bahaya hipertensi.
Presiden InaSH, Tunggul D Situmorang, menambahkan, agar terhindar dari hipertensi, masyarakat harus menerapkan pola hidup sehat dan deteksi dini tekanan darah. Makanan tinggi garam dan penyedap rasa buatan serta asap rokok harus dihindari. Sebaliknya, olahraga teratur, mengelola stres, dan patuh terhadap pengobatan hipertensi harus dilakukan.
”Jangan lupa mengecek tekanan darah secara rutin. Bisa dilakukan di fasilitas kesehatan ataupun di rumah,” katanya. (YOLA SASTRA)