Sejumlah kalangan menilai, debat calon presiden pada Minggu (17/2/2019) lalu kurang greget. Energi, yang menjadi salah satu dari sekian tema yang debat, relatif tak banyak dielaborasi kedua calon. Padahal, masalah energi tak bisa dipandang sebelah mata.
Bayangkan seandainya pasokan bahan bakar minyak (BBM) ke stasiun pengisian bahan bakar umum tersendat. Antrean mengular akan terjadi di mana-mana. Kondisi yang lebih ekstrem bisa juga terjadi, misalnya protes.
Salah satu pejabat negara, dalam seminar tentang investasi hulu minyak dan gas bumi di Jakarta, menyebutkan, kelangkaan elpiji 3 kilogram berhari-hari bisa menyulut gelombang protes yang memicu persoalan serius bagi pemerintah. Ketiadaan elpiji bisa menghentikan banyak aktivitas, khususnya rumah tangga atau usaha mikro, kecil, dan menengah. Pemadaman listrik akan memperburuk keadaan.
Sayangnya, belum tampak sama sekali visi dan strategi jangka panjang para calon presiden dalam debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum tersebut. Hanya sedikit yang disinggung, yaitu pemanfaatan biodiesel untuk mengurangi impor minyak. Cukup kah?
Catatan pemerintah menyebutkan, produksi minyak mentah Indonesia pada 2018 hanya 778.000 barrel per hari. Produksi ini jauh di bawah kebutuhan konsumsi BBM nasional yang mencapai 1,5 juta barrel per hari hingga 1,6 juta barrel per hari. Sisanya harus dipenuhi dari impor.
Belum lagi soal elpiji. Dari konsumsi tahun lalu yang hampir 7 juta ton, sekitar 70 persennya diimpor karena kemampuan produksi di dalam negeri tak cukup.
Mengapa strategi peningkatan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia tak detail dibicarakan? Kenapa jalan keluar mengurangi impor sumber energi dibicarakan sambil lalu? Mengapa usaha menaikkan investasi hulu migas di Indonesia sama sekali tak disinggung?
Padahal, angka impor migas menjadi salah satu penyebab defisit neraca perdagangan Indonesia. Apalagi, ketergantungan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas maupun pertambangan mineral dan batubara cukup besar. Tahun lalu, sumbangan PNBP sektor energi dan sumber daya mineral Rp 217,5 triliun atau setara dengan 53,4 persen PNBP secara nasional.
Lebih detail, kelesuan investasi hulu migas menyebabkan pertumbuhan ekonomi sejumlah provinsi penghasil migas melambat. Transfer dana bagi hasil yang menjadi penyangga utama anggaran daerah penghasil migas merosot drastis. Industri pendukung, sebagai efek berganda hulu migas di daerah, terpukul.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, setiap 1 juta dollar AS investasi hulu migas menciptakan nilai tambah 1,6 juta dollar AS. Angka itu setara dengan penambahan 0,7 juta dollar AS untuk produk domestik bruto dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 100 orang. Praktis, pelemahan investasi hulu, selain menyebabkan pembengkakan impor migas, juga mengurangi penciptaan lapangan kerja.
Uraian itu belum menyinggung persoalan transisi energi, yakni peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan yang lebih bersih, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Suka atau tidak suka, Indonesia masih akan bergantung pada fosil hingga 2050, dengan mengacu pada dokumen Kebijakan Energi Nasional. Rinciannya, dalam bauran energi nasional, peran minyak bumi setidaknya 20 persen, gas 24 persen, dan batubara 25 persen. Sisanya 31 persen diharapkan dari energi baru dan terbarukan. Tanpa energi yang cukup, kebijakan sektor infrastruktur, pangan, atau pengelolaan sumber daya alam akan terganggu. Masih mau anggap remeh? (Aris Prasetyo)