Cuaca Ekstrem, Tingkatkan Antisipasi Penyakit Menular
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemanasan global yang berdampak pada cuaca ekstrem menimbulkan perubahan pada penyebaran penyakit menular. Masyarakat menjadi lebih rentan terserang penyakit, terutama karena penyakit infeksi. Untuk itu, antisipasi dan kewaspadaan masyarakat terhadap gejala penyakit perlu ditingkatkan.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, cuaca ekstrem dengan iklim yang tidak menentu mendukung kondisi lingkungan menjadi tidak sehat. Di sisi lain, daya tahan tubuh juga tidak siap dengan perubahan iklim yang terjadi terlalu cepat.
“Lingkungan yang tidak sehat menyebabkan sumber penyakit meningkat, terutama sumber penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur. Saat bersamaan, daya tahan tubuh masyarakat sedang menurun. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat rentan tertular penyakit,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Untuk itu, masyarakat perlu lebih waspada pada jenis penyakit yang terkait dengan perubahan iklim. Curah hujan yang tinggi dan suhu panas yang meningkat berisiko menimbulkan penyakit infeksi seperti diare, influenza, demam tifoid atau tipes, gangguan pernapasan, serta demam berdarah. Selain itu, gangguan lain yang perlu diwaspadai adalah alergi seperti rhinitis atau radang pada rongga hidung.
Masyarakat perlu lebih waspada pada jenis penyakit yang terkait dengan perubahan iklim.
Menurut Ari, peningkatan risiko penyakit menular juga perlu diwaspadai oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Dokter misalnya, perlu lebih memerhatikan gejala penyakit yang dikeluhkan pasiennya.
“Misalnya, pasien datang dengan demam tinggi. Dokter perlu lebih mengontrol kondisi pasien secara lebih spesifik karena bisa jadi kondisi tersebut adalah gejala penyakit demam berdarah dengue,” ujarnya.
Selain kesiapaan tenaga kesahatan, dampak perubahan iklim dengan meningkatnya penularan penyakit perlu diantisipasi dengan tambahan fasilitas kesehatan. Meningkatnya kasus penyakit menular menandakan jumlah pasien pun bertambah. Dengan begitu, kebutuhan akan layanan kesehatan yang memadai akan bertambah.
Secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Siti Nadia Tarmizi menyatakan, dampak perubahan iklim juga tampak pada perubahan siklus penularan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Sebelumnya, siklus kasus DBD bisa diprediksi meningkat signifikan setiap lima tahun sekali.
Dampak perubahan iklim juga tampak pada perubahan siklus penularan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Sebelumnya, siklus kasus DBD bisa diprediksi meningkat signifikan setiap lima tahun sekali.
“Siklus lima tahun sekali ini dilihat dari prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa curah hujan dan kelembaban akan tinggi setiap lima tahun sekali. Curah hujan dan kelembaban ini sangat berpengaruh pada siklus hidup nyamuk dengue. Namun, akibat keadaan cuaca tidak menentu, siklus itu tidak lagi bisa diprediksi,” katanya.
Menurutnya, antisipasi penyakit yang dipengaruhi kondisi cuaca perlu lebih ditingkatkan. Untuk penyakit DBD misalnya, perubahan iklim juga membawa perubahan pada siklus hidup nyamuk. Masa hidup nyamuk dewasa bisa saja berubah karena perubahan cuaca yang ekstrem. Selain itu, proses penetasan telur pun turut mengalami perubahan.
Preventif
Ari mengatakan, upaya preventif dari masyarakat untuk menghindari penularan penyakit perlu diutamakan. Masyarakat perlu menghindari paparan udara ekstrem, misalnya tidak berada di bawah paparan sinar matahari langsung, menggunakan payung ketika hujan, atau pun tidak langsung berada di ruangan dingin setelah berada di luar ruangan yang terik.
“Situasi yang paling konkret yang bisa ditemukan saat ini adalah mudahnya seseorang terkena influenza seperti batuk atau pilek. Kondisi ini tidak lagi ditemukan di musim hujan saja tetapi hampir sepanjang tahun,” katanya.